Monday, October 31, 2005

Some Debates

Beberapa hari terakhir, gue berdebat dengan banyak orang penting. Dan apa yang gue tulis di sini murni pendapat pribadi.

Dimulai dari dirilisnya daftar peserta kompetisi FFI 2005. Tujuh judul layar lebar yang akan bertarung memperebutkan 13 piala Citra.

Brownies ada di sana. Cerita pertama gue yang menjelma menjadi layar lebar ada di sana. Ini dahsyat. More than I can imagine. Sejak kecil gue selalu nonton dan menunggu Piala Citra. Sampe kadang bermimpi ada di daftar nominasi itu. Minimal kompetisinya. And now the dream come true. Alhamdulillah.

Tapi, ada yang lantas mengganjal gue. Pertama soal pernyataan dewan juri seleksi. Yang mengatakan, kalo 27 film yang ada [yang diperas menjadi 7 best itu] ide-idenya seperti datang dari langit. Tidak membumi. Hm. Di dalam 27 itu ada Catatan Akhir Sekolah. Jujur gue lumayan 'tersinggung'. Karena berarti dianggap bercerita secara antah berantah oleh Dewan Seleksi yang terhormat. Padahal CAS gue tulis berdasarkan situasi sosial pendidikan yang gue alami selama gue jadi murid di tanah Indonesia ini. Jadi sumbernya jelas bumi dan langit Indonesia.

Kedua yang mengganjal gue [dan juga Hanung] kenapa Brownies ya? Bukannya CAS? Bukan meremehkan Brownies, tapi sebagai kreator gue sama Hanung tahu betul mana karya yang menurut kita lebih punya gagasan. Brownies itu adalah kerja craftmanship. Kerja tehnik yang diukur. Bahkan cetakan strukturnya [bukan ceritanya] referensi dari You Stupid Man. Aseli import dari tanah Hollywood. Sementara CAS dengan tingkat craftmanship yang relatif sama, gue sama Hanung menambahkan agenda yang lebih besar. Yaitu tentang eksistensi anak-anak muda dan sekali lagi, sumbernya adalah pengalaman berpendidikan di Indonesia. Gue tidak mengambil referensi darimana-mana. Namun ini sebenarnya selera juri.

Gue sih lebih mempersoalkan statement pertama mereka. Soal ide dari langit dan tidak membumi. Melihat yang dipilih Brownies bukan CAS, statement itu jadi tidak konsisten.

Gue lantas mengemail langsung Mas Totot Indrarto. Salah seorang Juri Seleksi. Gue berani email karena kerja Komite Seleksi sudah selesai. Tujuh judul itu akan digodok sama dewan juri festival lainnya. Terjadilah semacam dialektika hangat antar gue sama Mas Totot. Sampai-sampai ada beberapa jawaban email yang dia posting di blog-nya ini.

Persoalan membumi dan tidak membumi akhirnya jadi tidak menarik untuk diangkat di sini. Karena patokannya menjadi cukup subjektif. Tapi intinya sih gue bisa mengerti [bukan sepakat] dengan argumen-argumen Mas Totot. Meski menurut gue pribadi, 'tuduhan' statement itu agak kurang fair [dan kurang mendalam] bagi para kreator. But, argumen ini sudah selesai.

Dan konon, CAS itu 'cuma' kalah voting saja. Jangan pernah berdebat soal selera, kata Socrates. Meski cukup 'lucu' juga sih. Sebab kenapa juga harus dipatok hanya 7 judul saja, padahal ada 13 nominasi? Tapi ya sudahlah.

Yang menjadi point menarik lainnya yang berkembang dari disuksi itu adalah pertanyaan gue soal mana yang harus didahulukan: tema atau cara bercerita? Maksudnya pilihan tema yang unik plus berani, atau tema yang sederhana tapi diceritakan dengan baik.

Mas Totot menjawab, kalo harus dua-duanya. Tema unik dan bagus lantas diceritakan dengan bagus pula. Gue mengerti ini. Memang harus dua-duanya. Tapi gue punya concern lain.

Di tengah industri yang masih bayi ini, menurut gue yang harus didahulukan adalah cara menceritakannya dulu. Sebab bila yang menjadi primadona adalah tema, maka film Indonesia akhirnya bisa jadi asal gay, asal lesbian, asal violent, asal kontroversial.

Di tengah masih banyak film yang fokus gambarnya baik saja masih jarang, maka gue memilih untuk mengedepankan cara bercerita dulu. Di tengah masalah teknis suara masih tetap kurang diperhatikan, gue tetap mengedepankan cara bercerita. Di tengah produser yang masih kepinginnya dagang dulu, gue melihat kompromi terbaik adalah dengan memajukan cara bercerita. Gue tidak takut dengan keseragaman tema atau genre. Karena yang penting adalah kreatifitas mengolahnya. Kreatifitas yang tidak boleh mati, kata Teguh Karya.

Awal kebangkitan film Korea dimotori oleh barisan judul komedi romantis. Temanya sama. Tapi karena kreatifitas dibiarkan menari lincah, hasilnya tidak seragam. Lantas perlahan saat pondasi industrinya mulai kuat, muncullah film perang Tae Guk Gi yang ditonton oleh sekitar 10 juga orang.

Gue punya concern lebih ke sana. Industri ini masih bayi. Seperti bayi, maka yang paling dibutuhkan adalah ASI terlebih dulu. Dan buat gue ASI-nya itu adalah cara bercerita yang baik dan benar. Yang minimal tidak menghina logika penontonnya. Memang harus ada yang memberikan vitamin-vitamin yang lain. Harus itu. Oleh karenanya gue sepakat dengan pilihan-pilihan yang berbeda. Dan pilihan gue adalah mengedepankan cara berceritanya dahulu. Menjadi pihak yang menyuplai ASI terlebih dahulu. Silahkan teman-teman lain menjadi suplai vitamin yang bergizi lainnya. Dengan begitu 'bayi' ini akan tumbuh dengan makin sehat.

Jadi gue pribadi sebagai penulis akan belajar lebih giat lagi dalam hal berceritanya dahulu. Nanti kalo sudah jago bercerita, gue baru menginjak step anak tangga pilihan tema yang berbeda, unik, berani atau lainnya.

Mungkin gue juga bakalan lebih banyak bercerita soal kaum urban. Karena gue adalah anak urban. Gue merasa 'membumi' dengan menceritakan kaum urban. Soal realitas cerita lain, yang mungkin akan disebut banyak orang lebih mewakili wajah bangsa ini, gue yakin ada penulis lain yang lebih kompeten. Lagi pula kaum urban, terlepas dari kecil atau tidak porsinya, juga wajah bangsa ini bukan? Paling penting, lagi-lagi, bagaimana kisah-kisah itu diceritakan.

But, once again, ini soal pilihan. Right?

nb: Jadi nggak usah kesel lagi ya Umm. Sing penting konsisten... :D

Weeks Countdown

Gila sepuluh minggu lagi gue nikah!

Dan gila juga, insya Allah, film pertama yang gue produserin bakal syuting lebih cepet lagi. Sekitar delapan mingguan lagi.

Lebih cepet lagi dari itu, empat minggu lagi, my another movie is release. Sekitar semingguan lagi novel pertama gue selesai cetak.

Well, mungkin ini nggak seberapa buat manusia-manusia sibuk lainnya. Tapi buat pemalas dan used to be looser kayak gue, ini lebih dari gila.

Bener ternyata. Esensi dari bekerja itu bukan pada uang atau pencapaian. Bekerja menjadi wajib karena kita akan lebih menghargai hidup.

Get works, everybody!

nb: and my life become more worthier with you, Ma...

Monday, October 24, 2005

Names

Apalah arti sebuah nama, katanya?

Bah, banyaklah arti sebuah nama. Buktinya Soleh bisa mencurigai kalo setiap postingan gue ditujukan pada seorang cowok bernama Edi. Padahal ya bukan. Banyak lagi lah yang ketiban sial soal nama. Agus Isroni misalnya. Salah satu peserta Ospek yang sepanjang malam 'penyiksaan' habis jadi bulan-bulanan. Karena harus memberikan klarifikasi apakah dia itu Agus atau Roni. Get it? Namanya kan Agus Is Roni. Jadi sangat blur apakah dia Agus atau Roni. So, nama itu penting, kawan. Terutama nama yang bagus.

Oleh karena itu gue akhirnya memutuskan untuk mengganti panggilan si ratu ngeles dari Ede menjadi Umma. Artinya lebih bagus. Dalam bahasa Korea artinya Ibu. Dalam bahasa Arab artinya komunitas atau nations atau kira-kira ibu pertiwilah. Dalam bahasa Batak artinya cium. Cukup handy kan?

Nama panggilan gue juga diganti sama dia. Tadinya gue dipanggil sapi. Diganti jadi apa? Tanya aja sendiri. :D Yang jelas sejak gue ganti dengan arti sebaik itu, gue manggil dia dengan rasa jauh lebih hormat.

So let's start calling a good name for our love one!

nb: for now on your my Umma... :D

Monday, October 17, 2005

Getting Real

Everything is getting real.

Nikahan gue makin kelihatan nyata. Terutama kemaren. Pas gue sama ratu ngeles ini ngambil dummy undangan. Wow. Di luar ternyata undangannya sesuai dengan ekspektasi gue berdua, benar-benar luar biasa melihat kalimat yang menyatakan kalo kalian akan menikah.

Speechless. A little bit norak mungkin. Tapi gue speechless.

Melihat sendiri apa yang dirancang dengan penuh tawa [belakangan dengan kening berkerut karena disainer percetakannya menguji pahala puasa banget] akhirnya benar-benar jadi. Salah satu rancangan kita berdua yang pertama. Semoga banyak lagi 'rancangan' lain yang bakal jadi seperti ini. Amin.

Damn. I'm getting married.

nb: makin luar biasa setiap sadar yang tertulis di situ nama kamu Ed...

Monday, October 10, 2005

Menulis, kutu loncat dan TAMAT!

Akhirnya kata tamat itu gue ketik juga!

Wuah! Nyang namanya nulis novel ternyata punya satu tulang utama: intensitas. Gile bener. Baru 30 halaman aja udah bosen banget. Bawaannya pingin buru-buru kelar.

Selain intensitas ada handicap yang lumayan bikin gue pusing. Begini. Gue adalah penulis skenario dan editor. Jadi gue terbiasa menulis singkat dan efisien. Sementara novel itu dunia elaborasi. Pelebaran cerita selebar-lebarnya. Deskriptif sedeskriptifnya. Akibatnya draft awal gue secara halaman novel kurang. Seratusan halaman. Editor gue jelas rada protes.

Lantas berpanjang-panjanglah gue jadinya. Untung ada anak kecil ini. Dia nyadarin kalo yang gue butuh tambahin tinggal elaborasi ruang aja. Karena selama ini kalo di skenario gue dibantu sama keterangan scene atau scene heading buat ruang dan waktu.

Kesadaran ini juga membuat gue terbuka buat ngeliat lagi sama perbedaan skenario dan karya literatur lainnya. Pengalaman yang berharga banget. Gue jadi makin tau skenario yang mantap itu kayak apa plus novel yang baik itu seperti apa. Walau karya-karya gue masih jauh dari kata mantap dan bagus. But I'm a writer. Pendaringan gue dari sini. Proses ini penting banget buat melebarkan pemahaman dan skill. Dan karena sok plus belagu ngaku jadi penulis ini proses yang nggak boleh ditolak. Paling penting proses ini membanting gue ke bumi dengan kalimat: gue belum apa-apa.

Gue jadi ngerasa harus buat nyobain berbagai genre film. Tidak melimitasi diri gue dengan sok bilang udah nemu style. Udah ngerasa punya speciality. Kayak kutu yang masuk dalam kotak korek api. Yang ngerasa udah lompat paling tinggi padahal cuma sepentokan kotak korek api. Gue mau jadi kutu yang bisa lompat setinggi yang dia sanggup. Kalo emang udah usaha tapi ternyata emang setinggi kotak korek, baru ikhlas. Sebelum itu, no limit!

Dan setelah kutak-katik sampe jadi tiga draft [plus lima malam tidur nggak normal], akhirnya gue ngetik satu kata ajaib itu: TAMAT! Phweew...

nb: kamu harus nulis novel, Ed... tulisan lo lebih asyik dibanding gue jek! :D

Friday, October 07, 2005

Stupid Little Mistake

Little but still, stupid.

Gue lupa mengeset tanggalan di jam gue kalo september itu cuma sampe tanggal 30. Jadilah hamba yang sedang ditodong moncong deadline ini seperti mengalami hari yang sedikit lambat. Maksudnya, tanggal 7 gue masih anggap tanggal 6. Dan gue dengan santainya berpikir kalo deadline novel yang tanggal 10 itu masih 4 hari lagi. Stupid.

Pantes kok rasanya masih bisa dibawa enak semingguan ini. Kayak yang berasa pelan jalannya hari. Ternyata memang benar, waktu sebenarnya bukan cuma hitungan angka. Waktu adalah feeling. Mulur-mungkret kata konsep waktu orang Jawa. Jauh sebelum Einstein, kuantum dan keajaiban sains lainnya.

Rasa terhadap waktu itu juga yang membuat gue pada awalnya masih merasa kalo nikahan Januari itu masih jauh. Seperti yang gue tulis sebelum ini. Dan ternyata bukan 4 bulan tapi 3 bulan lagi. Stupid.

Mungkin masih ada defensif dari dalam diri gue. Ketakutan-ketakutan kecil untuk mengakui kalo gue sebenernya udah mau nikah. Gue sebenernya sebentar lagi bakal punya novel.

And that's a mistake right? Being defensive for nothing. Little but still, stupid.

nb: biasa Ed, biasa... nervous is the answer for that defensive mechanism... for the stupidity... :)

Tuesday, October 04, 2005

Marhaban Ramadhan

Beruntung masih ketemu lagi sama ramadhan. Alhamdulillah.

Sambutan yang luar biasa dari Indonesia. BBM melejit dan ada bom lagi di Bali. Huff, semoga bulan laundry dosa ini bisa buat mengembalikan semuanya ke titik yang paling hakikat: titik fitrah. Titik fitri.

Mohon maaf setulusnya dari semua. Buat modal ibadah selama ramadhan ini. Semoga sujud kita diterima. Amin.

nb: semoga ini beneran puasa terakhir ku sebagai bujangan Ed... :) Amin.