Tuesday, August 01, 2006

Lesson From Solo

Nonton final liga Indonesia pertama gue menghasilkan banyak hal.


Pertama gue ketemu Rully Nere! Gila midfielder yang namanya selalu menggaung pas gue kecil tiap nonton timnas main di TV! Dan ternyata orangnya lucu banget. Sumpah. Asyik dan lucu. Kayak anak kecil. Tampangnya aja item sangar, tapi lucunya setengah mati. Nggak pernah bisa serius. Kecuali kalo ngebahas bola. Dia itu masuk tim yang menentukan pemain terbaik di Badan Liga Indonesia. Kalo sudah begini, bisa berbusa mulutnya.

Kedua, bener-bener ngeliat langsung final liga. Maksud gue ngerasain atmosfirnya. Ngerasain langsung supporter yang membela habis-habisan klubnya. Kalo ngebela timnas gue udah tau kayak apa. Lapangan Manahan, Solo, full sepenuh-penuhnya. Kapasitas 40.000 dilalap habis pendudukung maniak PSIS dan Persik. Tapi penduduk PSIS mengambil 3/4 stadion karena Semarang-Solo lebih dekat dibanding Kediri-Solo. Mereka bernyanyi sepanjang pertandingan.

Lantas pertandingannya sendiri, berlangsung sedang. Kedua tim bermain hati-hati, gugup dan berusaha taktis. PSIS terlihat sekali menerapkan pertahanan yang kuat. Sementara Persik menekan sejak pluit awal. Oh, ya ini juga pertempuran guru melawan murid. Sebab Daniel Roekito, pelatih Persik, dulu melatih PSIS jaman Bonggo Pribadi masih ada di sana. Dan Bonggo sekarang jadi pelatih PSIS.

Belum sepuluh menit, sudah lebih dari tiga pelanggaran keras di kawasan bertahan PSIS akibat tusukan-tusukan pemain Persik.

Di sini gue dengan beruntungnya mendapatkan pelajaran ke tiga. Membaca permainan sepakbola. Ya membacanya seperti gue bisa membaca film secara tekstual ala Christian Metz. Serius. Terima kasih kepada seorang bapak yang duduk di samping gue sepanjang pertandingan.

Bapak itu berkumis tebal dan berlogat Makassar sangat kental. Awalnya gue nggak ngobrol. Karena sibuk mencatat dan mencoba menganalisa pertandingan. Tapi si bapak ini terus berkomentar bersama dua orang temannya. Komentar yang sangat menarik dan teknis.

Lama-lama gue terpikat. Dia juga memperhatikan gue yang mencatat dengan rajin. Akhirnya tanpa banyak basa-basi kita berdua membahas pertandingan dengan akrab.

Seperti guru dan murid. Gue banyak mengomentari pertandingan. Si bapak mengoreksi komentar gue dengan pengetahuan teknis yang detil dan mencerahkan. Misalnya gue protes kenapa umpan tidak dikirim ke teman yang lebih kosong. Si bapak menjawab, itu memang sudah betul karena mengumpan ke daerah kosong itu sangat terbaca. Dan umpan ke daerah yang lebih sempit kadang diperlukan untuk menekan garis pertahanan lawan, asal setelah itu bola dikirim ke daerah yang lebih terbuka karena tekanan itu. Whoa!

Semua yang pernah gue baca tentang sepakbola ruang dan hal-hal lainnya mendadak jadi terbuka. Lapangan mendadak jadi semacam buku yang bisa gue baca. Gue jadi bisa lebih mengerti pergerakan-pergerakan yang terjadi.

Yang paling dahsyat lagi adalah ketika gue berkomentar soal Maman Abdurahman. Bek PSIS yang bermain sangat cemerlang. Sang bapak berkomentar: "Dia itu pemain bagus. Perhatikan bagaimana dia membebaskan lawannya dari bola." Waw! Membebaskan lawan dari bola! Esensi yang luar biasa. Karena tanpa bola, Zidane sekali pun tidak ada artinya. Tidak akan berbahaya. Maman Abdurhaman pun meraih pemain terbaik Liga Djarum 2006 nanti pada saat akhir seremoni.

Kalimat membebaskan lawan dari bola itu terus nempel di kepala. Dan benar-benar mengubah pandangan gue terhadap pertandingan di lapangan dan sepakbola secara keseluruhan. Perlahan gue jadi bisa membaca kalau tiap pemain itu punya space yang dia bawa. Secara teknis berapa range itu gue belum tahu. Nah, space itu yang harus bisa dimanfaatkan. Siapa yang bisa memanfaatkan maka dia akan jadi pemain yang luar biasa. Space personal itu pun nantinya akan melebar menjadi space secara tim. Gila. Jadilah sebuah skema tim yang berkesinambungan. Permainan yang skematik.

Gue jadi bisa melihat apa yang dilakukan Brasil dan Belanda. Atau tim latin dengan Eropa. Brasil menggerakkan ruang-ruang itu tadi dengan skill individu yang datang dari langit. Sementara Belanda, menguasai ruang dengan perhitungan organisasi yang cermat.

Lantas kenapa Brasil kutak-katik? Kenapa Belanda menghitung ruang? Kenapa Inggris mem-by pass ruang dengan bola panjang? Kita masuk dalam wilayah antropologi sepak bola.

Sepakbola. Perebutan ruang dengan benda yang bulat seperti dunia. Inilah kenapa bola jadi begitu universal. Jadi begitu dekat dengan banyak orang. Dan semua itu masih ditambah dengan kemungkinan gol yang bergantung pada keberuntungan dan kebaikan nasib serta takdir Tuhan.

Kembali ke pertandingan. Bonggo Pribadi jelas seperti mengincar kemenangan tipis. Zona marking berhasil mengunci pergerakan Cristian Gonzales dan menjaga Budi Sudarsono tidak menusuk ke dalam kotak penalti. Dan sang suplier Danillo Fernando pun coba ditekan sedemikan rupa. Khusnul Yuli pun harus berjibaku dengan Maman Abdurahman. Gelinjang lincah Eby Sukore pun teredam dengan sendirinya.

Taktik ini berjalan cukup baik. Membuat Persik selalu membentur tembok. PSIS lantas menyiapkan serangan balik yang dikonduktori oleh Ortiz. Pemain satu ini jago sekali membaca dan memprediksikan pergerakan teman-temannya. Dia juga punya modal umpan lambung yang akurat. Dia juga bermain efektif karena sentuhan umpannya pun cukup dengan satu dua saja.

Sepanjang babak pertama itu yang terjadi. Persik menyerang terbentur bek, PSIS menyerang tapi kurang tenang. De Porras seperti kehilangan naluri tenangnya. Di samping gue juga mencatat Indriyanto Nugroho yang dipasang jadi starter. Biasanya gelandang bermental striker ini masuk babak ke dua. Akhirnya gue melihat skema PSIS agak sedikit tanggung. Niat menahan tapi gelandang tengah dikurangi yang bermental bertahan atau minimal gelandang murni macam Miguel Angela. Miguel baru masuk nanti pada saat babak perpanjangan waktu. Belakangan gue baru tahu kalau ternyata Miguel cedera. Jadi Bonggo bertaruh dengan susunan starternya.

Babak kedua situasi masih sama. Serangan PSIS sekali dua berhasil menyentuh tiang gawang Persik. Sementara serangan Persik masih harus puas diganjal barisan pertahanan PSIS.

Nuansanya nyaris agak bikin bosan. Kuncian yang dilakukan PSIS cukup berhasil. Pertandingan pun bergeser ke babak perpanjangan waktu. Babak pertama perpanjangan, Persik langsung menggebrak. Sergapan yang berhasil dimentahkan I Komang Putra. Kiper terbaik delapan besar buat gue.

Lantas ada dua tendangan keras lagi yang I Komang tahan. Satu dari Budi, satu lagi dari Cristian. Si bapak di sebelah gue bicara pelan, "Ini tinggal tunggu waktu saja..." Maksudnya gol Persik tinggal tunggu waktu. Gue mencoba mencerna komentar yang biasanya standard itu lebih dalam. Dan gue pun melihat apa maksud bapak tadi. Kenapa dia bilang tinggal tunggu waktu? Karena arti dari mulai berjibakunya I Komang adalah tanda serangan Persik mulai menembus lebih jauh dan pertahanan PSIS kian kendor. Terutama di sisi kanan mereka. Sisi ini terus ditembus oleh Hariyanto, kapten Persik, yang juga bermain cemerlang.

Dan bapak itu benar. Di menit 107, babak kedua perpanjangan, Cristian Gonzales menambah koleksi golnya jadi 29. Lewat sebuah serangan ke sisi kanan PSIS. Berawal dari Hariyanto yang berhasil mengirim bola ke space kosong Eby Sukore. Eby mengejarnya dan mengirim sebuah umpan lambung yang manis.

Detik sebelum Eby mengangkat bola, gue dengan kebisaan baru membaca lapangan tadi reflek melihat posisi para pemain Persik lainnya. Dan gue melihat Cristian Gonzales bergerak ke arah bola yang mengapung di space udara yang kosong penjagaan. Karena salah seorang bek PSIS sudah lebih dulu melepas space dia dengan bereaksi terlambat. Detik itu gue tahu akan terjadi gol. Dan dengan bebas Gonzales menanduk bola. I Komang tidak bisa berbuat apa, karena ruang gawangnya sudah dikuasai dengan baik oleh Gonzales. Ibaratnya Gonzales tinggal memilih tempat saja. Persik pun juara. Mutlak. Kemenangan taktik dan semangat juang.

Setelah Persebaya, akhirnya Persik menjadi tim ke dua yang bisa merajai Liga dua kali. Tahun 2003 dulu Persik membuat kejutan dengan menjuarai liga.

Ah, beres sudah liga. Dengan tidak terlalu rusuh. Meski ada sedikit bakar-bakar di stadion hasil karya penduduk PSIS tapi tidak ada anarkis lebih jauh lagi. Di luar stadion tidak ada kerusuhan yang terjadi.

Setelah ini masuk putaran ke dua Copa Dji Samsu. Lebih seru. Tim dari 3 dvisi bakal beradu semua.


nb: luar biasa Ma. luar biasa.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home