Thursday, August 03, 2006

Anak

Punya anak itu memang tidak bisa sembarangan.

Keponakan gue, cewek umur 3 tahun ditabrak motor kemaren. Kaki kanannya patah dan bahu kirinya bergeser sendinya. Yang menabrak anak SMP kelas dua berbadan kecil dan mengendarai motor Mio.

Keponakan gue, sore kemaren mengajak bapaknya menjemput abangnya yang sekolah madrasah. Abang ipar gue memarkir motor di luar pagar sekolah. Lalu setelah melihat jalanan yang kosong dia membiarkan ponakan gue yang merengek ingin menuju pagar sekolah. Mungkin niatnya biar lebih berani dan toh jalanan kosong. Ponakan gue pun menyeberang dan tak ada kejadian apa. Abang gue pun memarkirkan motornya. Baru selesai memasang standard, dia melihat motor Mio menabrakn anaknya yang berdiri di atas jalan yang bertutup got dari semen atau sebentuk trotoar.

Gue menerima kabar itu dari Nyokap persis saat ingin berangkat nonton Lady In The Water sama Umma. Umma sudah menunggu dengan karcis di Citos. Tapi akhirnya gue dan Umma langsung ke rumah sakit dan menyerahkan tiket pada teman kita yang kebetulan ketemu Umma di Citos.

Sepanjang perjalanan gue nggak bisa mikir. Gue sayang banget sama ponakan-ponakan gue ini. Dan secara adat Minang, buat seorang paman, ponakan itu tanggung jawab dia. Pepatahnya: "Anak digendong, keponakan dituntun," Di luar itu ponakan-ponakan gue ini memang lucu dan cerdas. Yang perempuan ini malah dikenal lebih tahan sakit. Legendanya dia pernah dengan santai melihat jarum yang menusuk kulitnya saat diambil darah.

Di taksi gue pingin nangis rasanya. Tapi gue tahan. Umma pun terus menyabarkan gue. Sementara dia sendiri melepaskan tangisnya sebentar. Melepaskan beban. Ponakan gue ini kalau menelpon gue pasti mencari Umma dan ngobrol dengan dia.

Saat itu gue berpikir, punya anak memang tidak gampang. Penuh kompleksitas yang sangat tinggi. Salah memilih keputusan, fatal. Dan yang paling bahaya adalah ketika anak kita membahayakan orang lain. Persis orang tua si anak SMP itu. Mungkin mereka berniat membuat anaknya berani dengan membiarkannya membawa motor dan diperhitungkan masih di kawasan dekat rumah. Tapi fatal.

Sampai di rumah sakit, begitu ngeliat ponakan gue diam saja tidak menangis dengan kaki terbalut dan infus, mata gue panas, dada gue sesak. Langsung masuk kamar mandi yang ada di kamar dan menangis sebentar di sana. Setelah lepas, baru gue keluar.

Gue melihat abang ipar gue matanya merah dan terus berkaca-kaca. Sementara kakak gue lebih tenang. Umma dengan tenang juga terus mengajak ponakan gue bercanda dan ngobrol. That's why I love her so deep. Dia selalu tahu bagaimana bertindak saat dimana gue udah nggak tau mesti ngapain lagi.

Hebatnya ponakan gue merespon dengan seolah dia cuma jatuh akibat lari-larian saja. Anak yang tegar. Atau memang perempuan diberi bekal lebih dalam menahan rasa sakit dibanding laki-laki. Emosional dan fisikal.

Gue terus memperhatikan abang ipar gue. Gurat rasa bersalah tercetak sangat tebal di wajah dan tatapan matanya. Gue berkali-kali menarik napas panjang mengiringi pertanyaan yang menggedor hati: "Gimana kalo anak gue ya..."

Keputusan dokter datang untuk mengoperasi ponakan gue karena di kaki yang patah ada luka terbuka. Awalnya jam 9 tapi akhirnya operasi dilakukan sekitar jam 11 selama satu setengah jam.

Gue menunggu dengan was-was. Perasaan campur aduk. Emosi gue nggak beres banget pokoknya. Gue sempat melihat ada Komeng yang sepertinya sedang menunggu istrinya melahirkan. Nyokap gue sempet nangis, Umma memeluknya dengan tenang. Berusaha menyabarkan. Umma terlihat sekali berusaha tenang.

Jam 12-an operasi kelar. Lalu gue mendengar tangisan keras ponakan gue. Gue lega mendengarnya. Cepat sekali dia sadar dari bius total.

Hari ini rencananya gue sama Umma mau ke sana lagi. Semoga perkembangan kesembuhannya bisa cepat. Kaki ponakan gue dipasangi kawat. Mungkin karena masih kecil tidak perlu dipasang skrup atau pen.


nb: thanks for being tough for me, Ma...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home