Bravo Italia, Airmata Zidane dan 2008
Drama final yang dahsyat dan Italia juara dunia.
Gila. Penuh momen yang merampas napas. Salah satunya tentu saat Zinadie Yazid Zidane menanduk Marco Matterazi dan menutup karirnya dengan tragis.
Pertandingannya sendiri berlangsung seru. Tujuh menit dari kick off, Zidane sudah mencetak gol lewat titik penalti. Ketika penetrasi Malouda dijegal. Zidane dengan tenang luar biasa mencungkil bola, membentur mistar atas lalu bola memantul melewati garis gawang. Buffon tertipu mentah-mentah.
Penalti itu menunjukkan di menit-menit awal, Italia terlihat tegang dan langsung disergap oleh pressing yang dipimpin oleh Vieira di lapangan tengah. Tapi tetap, serangan-serangan Perancis membentur Cannavaro. Walau pun peran Malouda dan Ribery didorong untuk membantu gedoran Henry. Tetap saja mentok. Henry sendiri mencoba menarik pertahanan Italia dengan muncul dari second line dan selalu bergerak. Namun Cannavaro tidak terpancing.
Babak pertama nyaris dikuasai Perancis. Meski Italia masih sanggup melakukan sengatan-sengatan yang tajam.
Satu fakta yang membuat haru. Totti, tumpuan Italia, sama sekali tidak menunjukkan performanya. Seperti ditelan angin. Mirip dengan Del Piero. Sesuatu yang dianggap akan terang di Piala Dunia, malah redup. Dan Pirlo dengan brilian mengambil semua beban itu. Dia mengatur serangan, turun membantu pertahanan dan mangambil set pieces atau bola-bola mati.
Dari hasil sebuah serangan, di menit 18-an Italia mendapatkan sepak pojok. Pirlo mengambilnya. Sebuah bola lengkung yang luar biasa dilepaskannya. Sangat sulit dibendung karena melengkung tinggi dan menekuk keluar dari gawang Barthez. Vieira mencoba melompat tinggi, tapi Materazzi melompat lebih tinggi karena dia sudah tahu Pirlo akan menendang begitu. Sebuah sundulan sangat keras menembus gawang Barthez. Skor 1-1.
Materazzi juga menunjukkan kalau kejayaan Italia datang dari orang-orang 'underdog'. Materazzi adalah cadangan Nesta. Salah satu bek terbaik Italia. Umur Matterazi juga sudah tidak muda. Sudah 32 tahun. Begitu Nesta cedera, Matterazi masuk dan menyelamatkan Italia. Di Jerman 2006 ini dia jadi bintang Italia.
Berikutnya serangan pun datang silih berganti dengan aliran yang sangat taktis dari kedua pihak. Kalau Perancis datang dari tengah, maka Italia mencoba menyisir dari sisi pinggir lapangan. Tapi Italia berbalik jadi yang lebih menguasai pertandingan.
Hasilnya dua lagi tendangan corner Pirlo yang nyaris jadi gol. Satu dari Matterazi yang berhasil ditahan Thuram dan Matterazi divonis melakukan pelanggaran. Satu lagi disundul Luca Toni tapi membentur mistar atas.
Tendangan sudut Pirlo ini memang kerja seorang master. Mirip dengan tendangan pojok Beckham. Bedanya kalau Beckham menekuk ke dalam gawang, Pirlo menekuk keluar. Tendangan Beckham cenderunh butuh sentuhan tepat dari untuk membuat bola berbelok ke dalam gawang dan mengecong kiper. Karena lengkungan ke dalamnya begitu tajam. Tak jarang seperti ingin mencetak gol langsung dari sepak pojok.
Tapi menurut gue, tendangan Pirlo sedikit lebih berbahaya. Karena tendangan Beckham cenderung membuat pemain bertahan tetap waspada, karena arah bola memang berbahaya. Sementara tendangan Pirlo membuat pemain bertahan lawan sedikit lengah karena seperti mengarah keluar gawang. Padahal bola Pirlo itu mencari kepala strikernya. Dan sundulan atau sentuhan bola yang melengkung keluar begitu sangatlah keras dan tajam.
Sementara Zidane tetap menawan. Dia sama sekali sulit ditekan. Dia terus menari-nari. Menunjukkan skillnya dengan sangat berani dan indah.
Sampai babak pertama berakhir kedudukan tetap 1-1.
Di babak kedua, Perancis meningkatkan tekanan. Praktis Italia sulit berkembang. Permainan dikuasai Perancis. Henry berhasil melepaskan tembakan melewati Cannavaro, tapi Buffon masih sanggup membloknya dengan baik.
Serangan terus mengalir dari kaki Ribery, Zidane, Malouda dan Sagnol. Sementara sengatan balik Italia ditahan oleh Thuram yang juga cemerlang di barisan pertahanan Perancis.
Serangan Perancis memang terus menusuk. Tapi tetap tidak ada yang benar-benar bisa melewati Cannavaro dengan sempurna.
Vieira tiba-tiba cedera hamstring. Wah. Rugi besar nih Perancis. Tapi gantinya Diarra ternyata menunjukkan proyeksi kalau dia memang pengganti Vieira di masa depan. Gaya bermainnya mirip dan sama bagusnya.
Zidane pun nyaris mencetak gol dengan sundulan khasnya. Tapi sundulan itu malah menunjukkan kalau Buffon memang kiper terbaik dunia. Nantinya dia akan menerima Lev Yashin Award. Penghargaan sebagai kiper terbaik sepanjang World Cup.
Lantas kejadian dramatis itu pun terjadi. Sepuluh menit menjelang babak kedua berakhir. Ketika tiba-tiba Buffon berteriak-teriak dan Materazzi tergeletak. Ada apa ini?
Lewat sebuah tayangan, nampak kejadian yang nyaris tidak mungkin terjadi. Zidane menanduk dada Materazzi. Setelah sepertinya mereka berdua terlibat percakapan. Entah apa yang dikatakan Materazzi. Sampai sekarang belum ada datanya. Tapi Zidane diganjar kartu merah. Tragis sekali.
Zidane menutup karirnya yang nyaris sempurna oleh sebuah kekonyolan yang tidak perlu. Apa pun yang dikatakan Materazzi, Zidane tidak pantas melakukan itu.
Tapi gue mencoba bersimpati dengan Zidane. Untuk sekelas dia, pastilah ada kata-kata yang dikatakan Materazzi yang benar-benar kelewatan. Karena Zidane bukan anak kemaren sore. Dia sudah pernah jadi Raja Dunia dam Raja Eropa. Menjadi Pemain Terbaik Dunia. Pastilah dia sudah terbiasa dengan berbagai macam provokasi.
Namun sekali lagi, Zidane sangat disayangkan sekali lepas kontrol emosinya.
Mungkin FIFA harus memikirkan ini. Bagaimana mengontrol provokasi yang terjadi di lapangan. Ini adalah salah satu crack dari sepakbola. Meski buat gue, trash talk itu biasa dilakukan. Baseball pun cukup dikenal dengan trash talk-nya. Tapi kalau diving bisa berhasil diminimalisir, maka FIFA mesti mengantisipasi masalah provokasi. Atau kita melihat 'Tragedi Zidane' lagi nanti.
Pertandingan pun berlanjut ke adu penalti. Semua pemain berhasil memalukannya dengan baik. Buffon dan Barthez dikadali. Tapi Trezeguet tidak beruntung nasibnya. Tendangannya membentur mistar atas Buffon yang sudah salah langkah. Kalau di eropa 2000 Trezeguet jadi penentu kemenangan Perancis atas Italia, sekarang dia jadi faktor kesialan Perancis.
Tapi mental pemain Italia luar biasa. Bayang kegagalan adu penalti di final USA 1994 seperti tidak menimbulkan tekanan apa-apa.
Sepertinya Italia memang ditakdirkan harus bangkit dari keterpurukan. Dulu waktu juara 1982 juga begitu. Ada kasus suap. Lalu lolos ke babak 16 besar dengan tidak meyakinkan dan mengangkat trofi di akhir turnamen.
Pemain yang menjadi penentu juga rata-rata bukan yang diperkirakan bakal bersinar. Setelah Materazzi, ada Grosso. Dia menjadi penendang penalti terakhir dan mengeksekusi dengan tenang.
Grosso juga beberapa kali jadi penentu kemenangan Italia. Yang paling diingat adalah saat membobol gawang Jerman di menit-menit akhir perpanjangan waktu. Gol yang membuat Italia bangkit.
Pertandingan perebutan juara ketiga berlangsung cukup seru juga. Meski Jerman benar-benar menguasai permainan. Schweinsteiger jadi bintang dengan mencetak 2 1/2 gol untuk kemenangan 3-1 Jerman. Kenapa dua setengah? Gol satunya lagi bunuh diri Petit ketika menghalau tendangan bebas Schweinsteiger.
Schweinsteiger sendir mencetak gol dari titik yang sama. Sisi kanan pertahanan Portugal. Sementara Portugal bermain dengan sedikit kendur motivasinya. Scolari sendiri mencoba eksperimen dengan memasukkan Figo di babak kedua. Sayangnya babak pertama tidak ada gol yang bisa pasukannya bisa curi.
Jerman menang dengan gagah. Klinsmann harus dipertahankan Jerman. Berbagai eksperimennya terbukti berhasil. Mulai dari melatih lompat hip hop untuk kebugaran sampai latihan panahan. Dia berhasil membentuk Jerman yang cepat, menggempur dan impresif.
Klinsmann juga berhasil membuat gue lebih dewasa dan mengikis sedikit kebencian abadi gue terhadap Jerman. Danke!
Bravo Italia. Semoga Zidane bisa berbesar hati menerima semuanya. Minimal Umma mendoakan begitu. :)
Btw, teori temen gue terbukti. Sejak 1994, tim yang mengalahkan negara yang nantinya jadi juara ke tiga akan jadi juara dunia.
Sekarang dua tahun lagi menuju 2008. Di Swiss-Austria. Pasukan-pasukan muda Eropa sekarang akan menjadi lebih matang nantinya. Semoga Belanda jadi juara. Amin. Gue akan tetap setia menunggu.
Piala Dunia 2010 akan berlangsung di Afrika Selatan. Akankah Afrika juara di benua sendiri? Atau Brasil akan membuktikan kalau di luar benua Amerika dan Eropa mereka yang berjaya. Seperti ketika Korea-Jepang 2002.
nb: selesai deh begadangnya ya Ma... :)
Gila. Penuh momen yang merampas napas. Salah satunya tentu saat Zinadie Yazid Zidane menanduk Marco Matterazi dan menutup karirnya dengan tragis.
Pertandingannya sendiri berlangsung seru. Tujuh menit dari kick off, Zidane sudah mencetak gol lewat titik penalti. Ketika penetrasi Malouda dijegal. Zidane dengan tenang luar biasa mencungkil bola, membentur mistar atas lalu bola memantul melewati garis gawang. Buffon tertipu mentah-mentah.
Penalti itu menunjukkan di menit-menit awal, Italia terlihat tegang dan langsung disergap oleh pressing yang dipimpin oleh Vieira di lapangan tengah. Tapi tetap, serangan-serangan Perancis membentur Cannavaro. Walau pun peran Malouda dan Ribery didorong untuk membantu gedoran Henry. Tetap saja mentok. Henry sendiri mencoba menarik pertahanan Italia dengan muncul dari second line dan selalu bergerak. Namun Cannavaro tidak terpancing.
Babak pertama nyaris dikuasai Perancis. Meski Italia masih sanggup melakukan sengatan-sengatan yang tajam.
Satu fakta yang membuat haru. Totti, tumpuan Italia, sama sekali tidak menunjukkan performanya. Seperti ditelan angin. Mirip dengan Del Piero. Sesuatu yang dianggap akan terang di Piala Dunia, malah redup. Dan Pirlo dengan brilian mengambil semua beban itu. Dia mengatur serangan, turun membantu pertahanan dan mangambil set pieces atau bola-bola mati.
Dari hasil sebuah serangan, di menit 18-an Italia mendapatkan sepak pojok. Pirlo mengambilnya. Sebuah bola lengkung yang luar biasa dilepaskannya. Sangat sulit dibendung karena melengkung tinggi dan menekuk keluar dari gawang Barthez. Vieira mencoba melompat tinggi, tapi Materazzi melompat lebih tinggi karena dia sudah tahu Pirlo akan menendang begitu. Sebuah sundulan sangat keras menembus gawang Barthez. Skor 1-1.
Materazzi juga menunjukkan kalau kejayaan Italia datang dari orang-orang 'underdog'. Materazzi adalah cadangan Nesta. Salah satu bek terbaik Italia. Umur Matterazi juga sudah tidak muda. Sudah 32 tahun. Begitu Nesta cedera, Matterazi masuk dan menyelamatkan Italia. Di Jerman 2006 ini dia jadi bintang Italia.
Berikutnya serangan pun datang silih berganti dengan aliran yang sangat taktis dari kedua pihak. Kalau Perancis datang dari tengah, maka Italia mencoba menyisir dari sisi pinggir lapangan. Tapi Italia berbalik jadi yang lebih menguasai pertandingan.
Hasilnya dua lagi tendangan corner Pirlo yang nyaris jadi gol. Satu dari Matterazi yang berhasil ditahan Thuram dan Matterazi divonis melakukan pelanggaran. Satu lagi disundul Luca Toni tapi membentur mistar atas.
Tendangan sudut Pirlo ini memang kerja seorang master. Mirip dengan tendangan pojok Beckham. Bedanya kalau Beckham menekuk ke dalam gawang, Pirlo menekuk keluar. Tendangan Beckham cenderunh butuh sentuhan tepat dari untuk membuat bola berbelok ke dalam gawang dan mengecong kiper. Karena lengkungan ke dalamnya begitu tajam. Tak jarang seperti ingin mencetak gol langsung dari sepak pojok.
Tapi menurut gue, tendangan Pirlo sedikit lebih berbahaya. Karena tendangan Beckham cenderung membuat pemain bertahan tetap waspada, karena arah bola memang berbahaya. Sementara tendangan Pirlo membuat pemain bertahan lawan sedikit lengah karena seperti mengarah keluar gawang. Padahal bola Pirlo itu mencari kepala strikernya. Dan sundulan atau sentuhan bola yang melengkung keluar begitu sangatlah keras dan tajam.
Sementara Zidane tetap menawan. Dia sama sekali sulit ditekan. Dia terus menari-nari. Menunjukkan skillnya dengan sangat berani dan indah.
Sampai babak pertama berakhir kedudukan tetap 1-1.
Di babak kedua, Perancis meningkatkan tekanan. Praktis Italia sulit berkembang. Permainan dikuasai Perancis. Henry berhasil melepaskan tembakan melewati Cannavaro, tapi Buffon masih sanggup membloknya dengan baik.
Serangan terus mengalir dari kaki Ribery, Zidane, Malouda dan Sagnol. Sementara sengatan balik Italia ditahan oleh Thuram yang juga cemerlang di barisan pertahanan Perancis.
Serangan Perancis memang terus menusuk. Tapi tetap tidak ada yang benar-benar bisa melewati Cannavaro dengan sempurna.
Vieira tiba-tiba cedera hamstring. Wah. Rugi besar nih Perancis. Tapi gantinya Diarra ternyata menunjukkan proyeksi kalau dia memang pengganti Vieira di masa depan. Gaya bermainnya mirip dan sama bagusnya.
Zidane pun nyaris mencetak gol dengan sundulan khasnya. Tapi sundulan itu malah menunjukkan kalau Buffon memang kiper terbaik dunia. Nantinya dia akan menerima Lev Yashin Award. Penghargaan sebagai kiper terbaik sepanjang World Cup.
Lantas kejadian dramatis itu pun terjadi. Sepuluh menit menjelang babak kedua berakhir. Ketika tiba-tiba Buffon berteriak-teriak dan Materazzi tergeletak. Ada apa ini?
Lewat sebuah tayangan, nampak kejadian yang nyaris tidak mungkin terjadi. Zidane menanduk dada Materazzi. Setelah sepertinya mereka berdua terlibat percakapan. Entah apa yang dikatakan Materazzi. Sampai sekarang belum ada datanya. Tapi Zidane diganjar kartu merah. Tragis sekali.
Zidane menutup karirnya yang nyaris sempurna oleh sebuah kekonyolan yang tidak perlu. Apa pun yang dikatakan Materazzi, Zidane tidak pantas melakukan itu.
Tapi gue mencoba bersimpati dengan Zidane. Untuk sekelas dia, pastilah ada kata-kata yang dikatakan Materazzi yang benar-benar kelewatan. Karena Zidane bukan anak kemaren sore. Dia sudah pernah jadi Raja Dunia dam Raja Eropa. Menjadi Pemain Terbaik Dunia. Pastilah dia sudah terbiasa dengan berbagai macam provokasi.
Namun sekali lagi, Zidane sangat disayangkan sekali lepas kontrol emosinya.
Mungkin FIFA harus memikirkan ini. Bagaimana mengontrol provokasi yang terjadi di lapangan. Ini adalah salah satu crack dari sepakbola. Meski buat gue, trash talk itu biasa dilakukan. Baseball pun cukup dikenal dengan trash talk-nya. Tapi kalau diving bisa berhasil diminimalisir, maka FIFA mesti mengantisipasi masalah provokasi. Atau kita melihat 'Tragedi Zidane' lagi nanti.
Pertandingan pun berlanjut ke adu penalti. Semua pemain berhasil memalukannya dengan baik. Buffon dan Barthez dikadali. Tapi Trezeguet tidak beruntung nasibnya. Tendangannya membentur mistar atas Buffon yang sudah salah langkah. Kalau di eropa 2000 Trezeguet jadi penentu kemenangan Perancis atas Italia, sekarang dia jadi faktor kesialan Perancis.
Tapi mental pemain Italia luar biasa. Bayang kegagalan adu penalti di final USA 1994 seperti tidak menimbulkan tekanan apa-apa.
Sepertinya Italia memang ditakdirkan harus bangkit dari keterpurukan. Dulu waktu juara 1982 juga begitu. Ada kasus suap. Lalu lolos ke babak 16 besar dengan tidak meyakinkan dan mengangkat trofi di akhir turnamen.
Pemain yang menjadi penentu juga rata-rata bukan yang diperkirakan bakal bersinar. Setelah Materazzi, ada Grosso. Dia menjadi penendang penalti terakhir dan mengeksekusi dengan tenang.
Grosso juga beberapa kali jadi penentu kemenangan Italia. Yang paling diingat adalah saat membobol gawang Jerman di menit-menit akhir perpanjangan waktu. Gol yang membuat Italia bangkit.
Pertandingan perebutan juara ketiga berlangsung cukup seru juga. Meski Jerman benar-benar menguasai permainan. Schweinsteiger jadi bintang dengan mencetak 2 1/2 gol untuk kemenangan 3-1 Jerman. Kenapa dua setengah? Gol satunya lagi bunuh diri Petit ketika menghalau tendangan bebas Schweinsteiger.
Schweinsteiger sendir mencetak gol dari titik yang sama. Sisi kanan pertahanan Portugal. Sementara Portugal bermain dengan sedikit kendur motivasinya. Scolari sendiri mencoba eksperimen dengan memasukkan Figo di babak kedua. Sayangnya babak pertama tidak ada gol yang bisa pasukannya bisa curi.
Jerman menang dengan gagah. Klinsmann harus dipertahankan Jerman. Berbagai eksperimennya terbukti berhasil. Mulai dari melatih lompat hip hop untuk kebugaran sampai latihan panahan. Dia berhasil membentuk Jerman yang cepat, menggempur dan impresif.
Klinsmann juga berhasil membuat gue lebih dewasa dan mengikis sedikit kebencian abadi gue terhadap Jerman. Danke!
Bravo Italia. Semoga Zidane bisa berbesar hati menerima semuanya. Minimal Umma mendoakan begitu. :)
Btw, teori temen gue terbukti. Sejak 1994, tim yang mengalahkan negara yang nantinya jadi juara ke tiga akan jadi juara dunia.
Sekarang dua tahun lagi menuju 2008. Di Swiss-Austria. Pasukan-pasukan muda Eropa sekarang akan menjadi lebih matang nantinya. Semoga Belanda jadi juara. Amin. Gue akan tetap setia menunggu.
Piala Dunia 2010 akan berlangsung di Afrika Selatan. Akankah Afrika juara di benua sendiri? Atau Brasil akan membuktikan kalau di luar benua Amerika dan Eropa mereka yang berjaya. Seperti ketika Korea-Jepang 2002.
nb: selesai deh begadangnya ya Ma... :)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home