Korea Yang Cerdik, Brasil Yang Biasa dan Kolektifitas Swiss
Dan Arab-Tunisia yang seru. Lalu Spanyol yang menggila plus Jerman yang membuat gue khawatir.
Korea melawan Togo membuka mata gue bahwa cuaca memang isu yang luar biasa. Panas yang rata-rata 30 derajat Celcius itu menjadi tudingan banyak pihak karena menguras stamina. Tapi tidak untuk Dick Advocaat.
Pelatih Korsel asal Belanda itu berani bertaruh dengan taktik menyimpan tenaga. Di paruh pertama terlihat sekali Korea seperti menyimpan energi. Gue sempat mengerutkankan kening melihat Korea yang dikenal dengan speed and power terlihat tidak bertenaga. Sodokan Lee Young Pyo, salah satu bek kiri favorit gue, tidak terlihat. Park Ji Sung pun seperti ragu-ragu untuk meneruskan terobosan-terobosannya. Advocaat mengambil resiko tinggi, karena Togo berhasil mencuri gol di babak pertama lewat Mohamed Kader. Togo sendiri bermain lugas dengan target man Adebayuor.
Korea sendiri masih sempat mencakar sesekali di babak pertama. Tapi belum bisa merobek gawang Kossi Agassa.
Togo terus menekan, tapi kiper Lee Won Jae berhasil menjinakkan beberapa situasi kritis.
Babak kedua Korea baru menunjukkan speed and power mereka. Sepakan Park Ji Sung sempat membuat Otto Pfister, pelatih Togo bertongkrongan mirip disainer kondang ini, melotot. Sayang tendangan Ji Sung melebar.
Masuknya pahlawan 2002 Ahn Jung Hwan juga seperti menambah darah. Bagai pasokan gingseng baru. Di menit ke lima puluhan, gerakan bepotensi gol dari Park Ji Sung dijegal kapten Togo Jean-Paul Abalo. Abalo sebelumnya sudah menerima kartu kuning. Jegalan itu keras. Abalo pun diganjar kartu merah. Tendangan bebas buat Korea di ujung kotak penalti. Lee Chun Soo yang mengambil dan sebuah gol cantik tercipta. Agassa melakukan blunder karena tidak bisa membaca arah bola yang keras tapi sebenarnya tidak terlalu menyulitkan.
Korea pun terus menggempur. Togo mulai habis bermain dengan 10 pemain. Ahn Jung Hwan kembali menentukan kemenangan Korea dengan tendangan jarak jauhnya. Advocaat meloncat dari bench. Minimal dia masih bisa menyuplai harapan rakyat Korea yang empat tahun lalu dilambungkan rekannya Guus Hiddink. Paling tidak peluang lolos ke putaran kedua jadi terlihat realistis.
Lantas Perancis lawan Swiss. Perancis dianggap sebagai salah satu calon tapi tidak dijagokan. Karena setelah Eropa 2000, entah kenapa tim Ayam Jantan ini seperti kehilangan jenggernya. Pulang lebih cepat tanpa gol di Korea-Jepang 2002 sebagai juara bertahan.
Meski sebenarnya, Perancis masih dipenuhi pemain-pemain berprofil tinggi. Zidane sudah tidak perlu disebut lagi. Lalu Thiery 'goal from nothing' Henry. Patrick Viera. Makalele. Banyak lagi. Tetap saja nama Perancis tidak disebut dengan antusiasme memikat.
Sementara Swiss nyaris tidak ada nama pemain yang mudah diingat. Paling ada Johann Vogel dan Philippe Sanderos. Keduanya bermain di Milan dan Arsenal. Sisanya belum bergaung secara internasional.
Namun pada saat permainan dimulai, terlihat kalau skill dan profil tinggi bisa direndam dengan kolektifitas. Perancis berhasil dikunci permainannya lewat sepakbola kolektif. Swiss memainkan pressing yang tebal. Membuat lapangan menjadi penuh hingga Zidane tidak bisa menari. Henry tidak bisa mengeluarkan sihirnya. Malah pemain muda Frank Ribbery yang menunjukkan kegesitannya. Sayang masih belum terarah. Nantinya dia digantikan Louis Saha. Padahal yang gemas di pinggir lapangan adalah Trezeguet. Entah kenapa Domenech sang pelatih tidak meliriknya.
Swiss beberapa kali mengancam gawang Barthez. Lewat Ricardo Cabanas, Frei dan Barnetta. Keberuntungan saja yang entang sedang arisan dimana, hingga Barthez masih bisa mengusap gundulnya dengan gagah.
Perancis pun terus berusaha membongkar tembok Swiss. Tapi produsen jam itu bermain rapi dan penuh presisi. Hasil imbang O-O pun adalah akhir yang pantas.
Lalu partai yang ditunggu-tunggu. Brasil Vs Kroasia. Tanpa banyak kata gue bilang Brasil meski menang 1-0 hasil tendangan Kaka bermain sangat biasa. Bahkan nyaris tidak menunjukkan kelas sebagai juara bertahan. Kroasia hanya sial saja Dida, kiper Brasil, bermain dalam top performa. Serangan-serangan Prso, Niko Kranjcar dan yang lainnya hanya menghasilkan remasan rambut di kepala Zlatko Kranjcar, pelatih sekaligus ayah dari Niko Kranjcar.
Intinya sih, peluang Kroasia masih terbuka lebar. Brasil sendiri sepertinya belum panas, tapi masih tetap menunjukkan tim besar.
Partai Arab-Tunisa di luar dugaan berlangsung seru sekali. Keduanya bermain sangat berani, cepat, taktis dan memikat. Tunisia lebih dulu unggul 1-0 di babak pertama. Lewat tendangan setengah terbang pemain muda mereka Jaziri.
Arab sendiri di babak kedua bangkit dengan serangan yang dirancang dengan sangat maut. Gue suka sekali gol balasan Al Khatani. Hasil sebuah set up dari serangan sayap. No look pas dari pemain sayap Arab disambut one touch Al Khatani. Kedudukan 1-1.
Lalu sebuah serangan yang benar-benar dibangun dari bawah membuat veteran Sami Al Jabber mencetak gol dan membalik situasi jadi 2-1 buat Arab. Tunisia pun tidak tinggal diam. Kedua tiam saling serang, sampai Jaidi bek Tunisia yang bermain di Bolton naik ke atas dan mencetak gol yang membuat situasi jadi 2-2 di menit ke 90. Imbang tapi seru sampai menit akhir.
Spanyol dan Ukraina ada grup yang ternyata cukup ketat.
Spanyol lawan Ukraina adalah pertandingan yang nggak gue tonton karena FKJ screening test. The test is good. Dan Spanyol-Ukraina 4-0! Gia banget. Spanyol yang nggak begitu dijagokan karena biasanya melempem di turnamen, ternyata bisa membungkam tim yang diprediksi jadi kuda hitam yang kuat.
Spanyol biasanya impresif di babak penyisihan tapi begitu masuk putaran final melempem. 1994 di USA contohnya. Datang dengan tidak terkalahkan selama penyisihan dan bertabur bintang, ditahan 2-2 oleh Korea.
Tapi dari siaran tunda yang gue liat, Puyol yang jadi bintang Spnyol. Meski David Villa yang mencetak dua gol, tapi Puyol bermain seperti banteng tanpa lelah. Figo sudah terlalu pendek napasnya tapi masih sanggup bermain cerdas.
Yang harus diacungi salut adalah Luis Aragones sang pelatih. Karena berani tidak menurunkan Raul, pujaan rakyat Spanyol dan memilih David Villa. Hasilnya luar biasa. Taktik yang dimainkan memang cocok untuk Villa.
Ukraina sendiri seperti tidak berkembang setelah Xavi mencuri gol di menit 13. Ditambah tendangan bebas Villa yang menjebol gawang empat menit kemudian. Mental mereka langsung drop.
Shevchenko seperti tidak ada di lapangan. Selain karena tidak ada suplai yang baik, pertahanan Spanyol menguncinya.
Lalu berlanjut dengan pertandingan kedua dalam grup A. Jerman-Polandia. Ini menentukan. Apakah Jerman jadi negara pertama yang lolos dan Polandia menjadi negara pertama yang membawa pulang harga diri mereka paling subuh. Atau Polandia bisa menahan laju Jerman dan membuka peluang tetap lolos ke babak kedua.
Ternyata Jerman jadi yang pertama lolos ke babak kedua. Polandia ditekuk 1-0 dengan gol injury time Neuville hasil asisst dari Odonkour yang masuk di babak kedua dan membuat Jerman berwajah lebih menyerang.
Sepanjang pertandingan tempo diatur oleh Jerman yang kembali jadi 'Jerman'. Membangun permainan dari pertahanan. Kali ini bek Jerman tidak berdiri sejajar lagi. Selalu ada dua bek yang berposisi diamond di tengah. Meski kadang masih suka kalah lari ini minimal bisa menahan gempuran Polandia yang bermain menyerang.
Sampai mereka kehilangan Sobolewski di babak ke dua. Jerman pun kian menggila di sepuluh menit terakhir. Determinasi khas kaum Arya mereka pun nampak. Setelah beberapa kali kesempatan gol mereka dimentahkan kiper Boruc yang bermain cemerlang plus dua kali membentur tiang gawang, mereka tidak frustasi. Terus menekan. Hasilnya menang.
Gue khawatir sekali. Ini biasanya akan berakhir: tahu-tahu Jerman masuk final dan menang lagi...
nb: jangan godain aku terus dong... :)
Korea melawan Togo membuka mata gue bahwa cuaca memang isu yang luar biasa. Panas yang rata-rata 30 derajat Celcius itu menjadi tudingan banyak pihak karena menguras stamina. Tapi tidak untuk Dick Advocaat.
Pelatih Korsel asal Belanda itu berani bertaruh dengan taktik menyimpan tenaga. Di paruh pertama terlihat sekali Korea seperti menyimpan energi. Gue sempat mengerutkankan kening melihat Korea yang dikenal dengan speed and power terlihat tidak bertenaga. Sodokan Lee Young Pyo, salah satu bek kiri favorit gue, tidak terlihat. Park Ji Sung pun seperti ragu-ragu untuk meneruskan terobosan-terobosannya. Advocaat mengambil resiko tinggi, karena Togo berhasil mencuri gol di babak pertama lewat Mohamed Kader. Togo sendiri bermain lugas dengan target man Adebayuor.
Korea sendiri masih sempat mencakar sesekali di babak pertama. Tapi belum bisa merobek gawang Kossi Agassa.
Togo terus menekan, tapi kiper Lee Won Jae berhasil menjinakkan beberapa situasi kritis.
Babak kedua Korea baru menunjukkan speed and power mereka. Sepakan Park Ji Sung sempat membuat Otto Pfister, pelatih Togo bertongkrongan mirip disainer kondang ini, melotot. Sayang tendangan Ji Sung melebar.
Masuknya pahlawan 2002 Ahn Jung Hwan juga seperti menambah darah. Bagai pasokan gingseng baru. Di menit ke lima puluhan, gerakan bepotensi gol dari Park Ji Sung dijegal kapten Togo Jean-Paul Abalo. Abalo sebelumnya sudah menerima kartu kuning. Jegalan itu keras. Abalo pun diganjar kartu merah. Tendangan bebas buat Korea di ujung kotak penalti. Lee Chun Soo yang mengambil dan sebuah gol cantik tercipta. Agassa melakukan blunder karena tidak bisa membaca arah bola yang keras tapi sebenarnya tidak terlalu menyulitkan.
Korea pun terus menggempur. Togo mulai habis bermain dengan 10 pemain. Ahn Jung Hwan kembali menentukan kemenangan Korea dengan tendangan jarak jauhnya. Advocaat meloncat dari bench. Minimal dia masih bisa menyuplai harapan rakyat Korea yang empat tahun lalu dilambungkan rekannya Guus Hiddink. Paling tidak peluang lolos ke putaran kedua jadi terlihat realistis.
Lantas Perancis lawan Swiss. Perancis dianggap sebagai salah satu calon tapi tidak dijagokan. Karena setelah Eropa 2000, entah kenapa tim Ayam Jantan ini seperti kehilangan jenggernya. Pulang lebih cepat tanpa gol di Korea-Jepang 2002 sebagai juara bertahan.
Meski sebenarnya, Perancis masih dipenuhi pemain-pemain berprofil tinggi. Zidane sudah tidak perlu disebut lagi. Lalu Thiery 'goal from nothing' Henry. Patrick Viera. Makalele. Banyak lagi. Tetap saja nama Perancis tidak disebut dengan antusiasme memikat.
Sementara Swiss nyaris tidak ada nama pemain yang mudah diingat. Paling ada Johann Vogel dan Philippe Sanderos. Keduanya bermain di Milan dan Arsenal. Sisanya belum bergaung secara internasional.
Namun pada saat permainan dimulai, terlihat kalau skill dan profil tinggi bisa direndam dengan kolektifitas. Perancis berhasil dikunci permainannya lewat sepakbola kolektif. Swiss memainkan pressing yang tebal. Membuat lapangan menjadi penuh hingga Zidane tidak bisa menari. Henry tidak bisa mengeluarkan sihirnya. Malah pemain muda Frank Ribbery yang menunjukkan kegesitannya. Sayang masih belum terarah. Nantinya dia digantikan Louis Saha. Padahal yang gemas di pinggir lapangan adalah Trezeguet. Entah kenapa Domenech sang pelatih tidak meliriknya.
Swiss beberapa kali mengancam gawang Barthez. Lewat Ricardo Cabanas, Frei dan Barnetta. Keberuntungan saja yang entang sedang arisan dimana, hingga Barthez masih bisa mengusap gundulnya dengan gagah.
Perancis pun terus berusaha membongkar tembok Swiss. Tapi produsen jam itu bermain rapi dan penuh presisi. Hasil imbang O-O pun adalah akhir yang pantas.
Lalu partai yang ditunggu-tunggu. Brasil Vs Kroasia. Tanpa banyak kata gue bilang Brasil meski menang 1-0 hasil tendangan Kaka bermain sangat biasa. Bahkan nyaris tidak menunjukkan kelas sebagai juara bertahan. Kroasia hanya sial saja Dida, kiper Brasil, bermain dalam top performa. Serangan-serangan Prso, Niko Kranjcar dan yang lainnya hanya menghasilkan remasan rambut di kepala Zlatko Kranjcar, pelatih sekaligus ayah dari Niko Kranjcar.
Intinya sih, peluang Kroasia masih terbuka lebar. Brasil sendiri sepertinya belum panas, tapi masih tetap menunjukkan tim besar.
Partai Arab-Tunisa di luar dugaan berlangsung seru sekali. Keduanya bermain sangat berani, cepat, taktis dan memikat. Tunisia lebih dulu unggul 1-0 di babak pertama. Lewat tendangan setengah terbang pemain muda mereka Jaziri.
Arab sendiri di babak kedua bangkit dengan serangan yang dirancang dengan sangat maut. Gue suka sekali gol balasan Al Khatani. Hasil sebuah set up dari serangan sayap. No look pas dari pemain sayap Arab disambut one touch Al Khatani. Kedudukan 1-1.
Lalu sebuah serangan yang benar-benar dibangun dari bawah membuat veteran Sami Al Jabber mencetak gol dan membalik situasi jadi 2-1 buat Arab. Tunisia pun tidak tinggal diam. Kedua tiam saling serang, sampai Jaidi bek Tunisia yang bermain di Bolton naik ke atas dan mencetak gol yang membuat situasi jadi 2-2 di menit ke 90. Imbang tapi seru sampai menit akhir.
Spanyol dan Ukraina ada grup yang ternyata cukup ketat.
Spanyol lawan Ukraina adalah pertandingan yang nggak gue tonton karena FKJ screening test. The test is good. Dan Spanyol-Ukraina 4-0! Gia banget. Spanyol yang nggak begitu dijagokan karena biasanya melempem di turnamen, ternyata bisa membungkam tim yang diprediksi jadi kuda hitam yang kuat.
Spanyol biasanya impresif di babak penyisihan tapi begitu masuk putaran final melempem. 1994 di USA contohnya. Datang dengan tidak terkalahkan selama penyisihan dan bertabur bintang, ditahan 2-2 oleh Korea.
Tapi dari siaran tunda yang gue liat, Puyol yang jadi bintang Spnyol. Meski David Villa yang mencetak dua gol, tapi Puyol bermain seperti banteng tanpa lelah. Figo sudah terlalu pendek napasnya tapi masih sanggup bermain cerdas.
Yang harus diacungi salut adalah Luis Aragones sang pelatih. Karena berani tidak menurunkan Raul, pujaan rakyat Spanyol dan memilih David Villa. Hasilnya luar biasa. Taktik yang dimainkan memang cocok untuk Villa.
Ukraina sendiri seperti tidak berkembang setelah Xavi mencuri gol di menit 13. Ditambah tendangan bebas Villa yang menjebol gawang empat menit kemudian. Mental mereka langsung drop.
Shevchenko seperti tidak ada di lapangan. Selain karena tidak ada suplai yang baik, pertahanan Spanyol menguncinya.
Lalu berlanjut dengan pertandingan kedua dalam grup A. Jerman-Polandia. Ini menentukan. Apakah Jerman jadi negara pertama yang lolos dan Polandia menjadi negara pertama yang membawa pulang harga diri mereka paling subuh. Atau Polandia bisa menahan laju Jerman dan membuka peluang tetap lolos ke babak kedua.
Ternyata Jerman jadi yang pertama lolos ke babak kedua. Polandia ditekuk 1-0 dengan gol injury time Neuville hasil asisst dari Odonkour yang masuk di babak kedua dan membuat Jerman berwajah lebih menyerang.
Sepanjang pertandingan tempo diatur oleh Jerman yang kembali jadi 'Jerman'. Membangun permainan dari pertahanan. Kali ini bek Jerman tidak berdiri sejajar lagi. Selalu ada dua bek yang berposisi diamond di tengah. Meski kadang masih suka kalah lari ini minimal bisa menahan gempuran Polandia yang bermain menyerang.
Sampai mereka kehilangan Sobolewski di babak ke dua. Jerman pun kian menggila di sepuluh menit terakhir. Determinasi khas kaum Arya mereka pun nampak. Setelah beberapa kali kesempatan gol mereka dimentahkan kiper Boruc yang bermain cemerlang plus dua kali membentur tiang gawang, mereka tidak frustasi. Terus menekan. Hasilnya menang.
Gue khawatir sekali. Ini biasanya akan berakhir: tahu-tahu Jerman masuk final dan menang lagi...
nb: jangan godain aku terus dong... :)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home