Tuesday, December 13, 2005

KUA

Kamis kemaren gue ke KUA bareng Umma. What a day! This is the story.

Hari itu rencananya gue sama calon bini mau ngasihin data yang belum lengkap. Tinggal foto sama data dari cewek gue aja sebenernya. Soal tanggal dan penghulunya udah di booking dan diurus sama Nyokap dari bulan Agustus. Gue pikir urusannya nggak bakal lama.

Sekitar jam 8 pagi, Umma udah nongol di rumah gue, sementara gue masih bareng sama dia di alam mimpi. Akhirnya setelah berhasil memaksa diri mandi, sekitar jam 9 kita berangkat ke KUA Tanah Abang. Di jalan gue baru inget kalo duit di dompet udah tipis. Mau ke ATM tanggung. Lagian gue yakin urusan administrasi udah beres.

Sampe di sana ternyata penghulunya belum dateng. Jam berapa? Nggak jelas. Hm, berarti gue harus nunggu nggak jelas juga dong. Telepon ke HP-nya nggak diangkat. Mungkin lagi ada objekan lain. Sekian menit bengong, muncul seorang ibu yang mengajak gue sama Umma ke lantai atas. Ternyata dia penasihat perkawinan. Oh, jadi sebentar lagi gue bakal ngalamain ceramah nikah yang 'legendaris' itu.

Jadilah gue ikut Ibu Tata [demi harga diri nama disamarkan] ke ruangan dia. Sebelum gue di kasih ceramah ternyata dia harus bersih-bersih ruangannya dulu. Karena ada bekas rokok di lantai dan gelas bekas minuman di meja yang menyebabkan banyak semut. Rupanya Ibu Tata lebih anti terhadap abu rokok dibanding air bekas gelas dan semut. Sebab yang dia bersihin cuma abu rokok doang! Semut dan air menggenang lengket itu dia biarkan begitu saja.

Okelah. Mungkin standard bersih orang beda-beda. Konseling pun siap dimulai. Tapi ada pasangan calon pengantin baru datang. Sebut saja pasangan A. Mereka lantas disuruh masuk di ruangan sebelah kanan. Lalu beberapa saat kemudian ada pasangan yang siap nikah langsung di KUA di ruangan sebelah kiri. Ibu Titi pun bertanya sama gue dan Umma: "Kalian ada pertanyaan pribadi yang mau ditanya sekarang? Soalnya biar enak nanti nasihatnya digabung sama pasangan yang tadi." Gue sama Umma saling pandang. Apa yang mau ditanya ya, kan kita belum nikah. Tapi sudahlah.

Pikiran itu dipotong sama Ibu Titi dengan mengatakan kami lebih baik pindah ke ruang kanan, karena takut menganggu yang nikah di ruang kiri. Belum sempat pindah ada orang mengantarkan sebuah buku besar dari ruang kanan. Seperti buku absen lama. Si Ibu lalu membuka buku itu di depan gue. Selembar limapuluh ribuan terjatuh. Gue tersenyum, hm, tehnik yang lumayan cerdik. Gue tau arahnya kemana tuh. Ibu Tata berdehem. "Ini tulis dulu namanya di buku sama uang administrasi." Gue nyaris menggeleng sambil senyum. Tiga detik kemudian senyum itu hilang. Gue kan nggak punya duit!

Dompet gue bongkar cuma ada 30 ribu. Umma nahan ketawa. Anak ini kalo panik memang malah ketawa. Kebiasaan yang cukup riskan kalo kebetulan berhadapan dengan macan tutul. Sementara itu Ibu Tata mengoceh soal keikhlasan atas uang 'administrasi' itu. Akhirnya dengan mengumpulkan receh, genap lima puluh ribu. Gue selipin di dalam buku tadi. Ibu Tata dengan cepat mengatupkan buku itu. Lantas memandang dengan pandangan iba: "Masih punya ongkos nggak?" Yeah right. :D

Saat kita siap pindah demi kelancaran acara di ruang kiri, tau-tau Ibu Tata bilang: "Kita di sini aja deh." Gue sama Umma kembali saling pandang. Lho, tadi katanya... Ah sudahlah. Pasangan A pun duduk di samping gue. Konseling pun dimulai.

Ibu Tata mengoceh soal nikah dan kesiapan mental. Tanggung jawab suami dan bla-bla. Ada pertanyaan? Pasangan A bertanya soal istri apakah harus melayani terus? Basa-basi. Karena kalo nggak nanya kayaknya Ibu Tata tidak bakal menyudahi kuliahnya. Efeknya dengan semangat dia kembali mengoceh soal kewajiban istri dan suami. Selama sesi ini gue memperhatikan Umma terus. Mahluk ini adalah tukang celetuk jago yang paling gatel yang pernah gue kenal. Apalagi kalo suasananya bikin bosan. Dia bisa dengan sangat tanpa sadar nyeletuk dan membuat situasi makin garing. Saat bibirnya mulai terbuka, gue langsung beraksi: "Diam nggak..." Umma melotot karena manuvernya terjegal dengan sukses.

Tiba-tiba muncul pasangan B. Oh God, apakah kuliah itu harus diulang lagi dari awal?! Ternyata masih ada kemanusiaan. Pasangan B bakal mendapatkan apa yang sudah diucapkan nanti. Nasihat dilanjutkan. Bla-bla-bla yang sangat standard. Meski sudah ditambahi cerita ngidam tetap saja standard. Ibu Tata sendiri terlihat tidak fokus ketika nasihat tiba-tiba menyentuh soal anaknya yang ada di Abu Dhabi dan bagaimana dia menyelamat seorang jemaah haji dari vonis gila.

Tepat di tengah kebosanan akut, gue mendengar suara orang bertanya dari sebelah gue. Suara yang gue kenal. Oh, my... Umma bertanya. Soal apakah boleh dia mengajukan syarat tidak mau dimadu pada saat akad nanti. Good. Gue jadi terlihat seperti laki-laki pendukung poligami yang sudah siap dengan dua calon istri lagi. Ibu Tata menjawab dengan semangat. Sementara pasangan A dan B terlihat panas pantatnya.

Nasihat tiba-tiba kembali ke situasi saat istri hamil sembari selipan pesan jangan memperpendek jarak hamil. Kasihan istri. Perhatian suami pun harus plus-plus, kata Ibu Tata. Di titik ini, gue gagal menjegal Umma. Dia nyeletuk. "Nah mungkin gara-gara plus-plus itu jadi hamilnya sering Bu..." Haha. Tawa formal terdengar. Gue mengusap rambut. Akhirnya setelah situasi makin drowning, Ibu Tata menyudahi nasihat. Gue nyaris mendengar helaan napas yang serempak.

Beres Ibu Tata, gue sama Umma harus menghadap penghulu yang belum nongol dari tadi itu. Begitu turun ternyata dia sudah datang. Begitu bertemu gue langsung siap-siap curiga. Takut ada duitnya lagi. Sementara di dompet tinggal ribuan yang kesepian. Penghulu itu pun melihat berkas-berkas. Meminta foto baru, karena yang kami bawa ukurannya terlalu besar. Lalu dia mengerutkan kening. "Kok yang perempuannya belum bikin pernyataan sendiri kalo belum nikah?" Gue memandang Umma. Penghulu itu terlihat maklum. "Oh baru 20 umurnya. Emang belum perlu bikin." Hmm, kok ini membuat seperti gue mau menikah dengan gadis di bawah umur ya? Penghulu itu menatap Umma. "Masih kecil kok udah berani nikah Neng?" Oh, shut up!

Dia lantas membalik halaman yang udah diurus sama Nyokap. Berikut keterangan kalo urusan administrasi sudah dibayar. Dia tersenyum. Gue juga tersenyum. Nggak bakal ada lagi istilah uang administrasi.

Penghulu itu menutup map. "Nah ini begini ya. Uang administrasi memang sudah dibayar. Tapi nanti ada lagi yang namanya uang apresiasi..." What! "...nah uang apresiasi ini jumlahnya terserah dan tergantung keikhlasan yang memberi..." Damn! Uang apresiasi! Ini jenius! Licin banget! Nggak kebayang kalo bakal ada istilah secerdas ini. Gue nyaris menggaruk kepala.

Penghulu itu menambahkan. "Uang itu nanti aja pas akad. Dan itu juga sebenarnya bukan buat saya. Di sini nanti saya juga harus lapor pimpinan. Biasanya sih jumlahnya memang bebas. Ada yang ngasih 500 ribu. Yang lebih banyak. Yang kurang juga ada..." Penghulu itu pun tersenyum sangat manis.

Oke, can you read between the line? Kalimat di atas itu adalah retorika tingkat tinggi. Artinya: karena harus ada yang disetor ke bos-nya, jangan ngasih di bawah 500 ribu. Hebat, hebat.

Sudahlah. Toh pada saat simulasi gue bacain akad, gue ingat lagi, apa pun deh asal gue nikah sama si ratu ngeles bin nyeletuk itu! Tapi... Ah sudahlah!


nb: udahlah Ma, ikhlas aja. kita kan apresiator yang baik... :D

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Karena ngasihnya nanti abis akad, nggak wajib 500 ribu kan ?? Heheheh ...
Ya kultur bangsa udah gitu kayaknya ya,banyak uang kopi,uang rokok, uang administrasi, uang apresiasi (seakan2 kalo kita nggak ngasih kita nggak appreciate kerjaan dia gitu ..)

3:09 PM  
Anonymous Anonymous said...

eh kok kaya dejavu gini yaaa..??
samaan deh ni KUA Tanah Abang!
parahhh yeee???

hehehehe...

6:01 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home