Films
Once again film helped my life.
Yap. Movies is always there. Never fail. Pas umur lima tahun gue mengenal kata 'magic' langsung secara visual. Saat gue diajak nonton ke bioskop. Gedean dikit, saat mencari pegangan, nasionalisme gue terhadap bangsa ini dipupuk dengan baik oleh Kereta Terakhir, Enam Djam Di Djogdja, Serangan Fajar, Janur Kuning, Perang Puputan, Jejak-Jejak Walter Monginsidi, Tjoet Njak Dhien, Nagabonar dan banyak lagi film perang. I'm a sucker for a [national] war movies.
Saat seksualitas tumbuh, film is there for me. Mulai dari yang sopan sampe the vivid one :D Tapi kita nggak bicara genre terakhir. Jennifer Connelly adalah yang menset-up standard gue seperti apa perempuan cantik itu seharusnya ketika nonton The Rocketeer. Taste gue sama aktris pun membaik. Nggak asal seksi. Gue fans dia sampe sekarang. Ditambah berbagai komedi romantik yang mengajarkan kalo cinta memang tidak terdefinisikan. That every relationship is strange.
Rainman menaikkan standard tuntutan gue terhadap film. Biasanya dateng ke bioskop baru milih mau nonton apa, sejak terpikat Dustin Hoffmann, gue selalu cari info dulu dan mulai mengikuti film-film kelas Oscar. Selera saya pun lumayan selamat :D Meski setelah Oscar memenangkan Titanic dibanding LA Confidential gue nggak terlalu percaya lagi sama Oscar.
Dan setelah itu Tokyo Story mengingatkan gue lagi untuk lebih respek sama ortu serta menghargai hidup panjang mereka. Di saat begitu habisnya gue disita sibuk. In The Mood for Love mengingatkan betapa selingkuh adalah rinai hujan pilihan yang punya konsekuensi tersendiri, ketika 'kembang api' mulai menyala menggoda lagi. Yiyi bicara sangat dalam apa itu kematian tepat ketika iman ada di level nadir. Banyak lagi deh.
Gue ketemu produser yang sekarang, karena tiap pagi dulu ngomongin film sama dia. Sebelum dia masuk ruangan dan bekerja sebagai GM majalah. Gue ketemu banyak orang penting dan berbakat setelah mulai nulis skenario. Salah satunya Hanung. Ketika sebuah skrip gue sedang mencari sutradara, gue ketemu dia di pemutaran film pendek. Film pendek juga membuat gue punya kesempatan belajar dari Faozan 'Pao' Rizal. Bakat terpendam di perfilman nasional. Underrated cinematographer. Padahal sangat berbakat. Film pendek juga yang bikin gue punya mimpi bareng Angga Sasongko. Potensi yang siap melejit. Diskusi film juga mengakrabkan gue sama Eric Sasono, kritikus film terbaik saat ini. Dan yang paling dahsyat, gue sama Umma mengawali semuanya dari sms-an membahas 2046-nya Wong Kar Wai.
Lalu tadi pagi, saat semangat nyaris habis karena diulur-ulur investor, gue dicambuk Goal! Film tentang pesepakbola. Mungkin tidak objektif kalo gue bilang film ini heroik. Satu, gue footballmaniac. Kedua saya pemuja Newcastle United. Saat melihat di film ini Newcastle begitu diagungkan, airmata menetes. Oke, you are talking with fanatic. Fanatik tidak mungkin realistik :D Tapi film ini jelas punya satu pesan: every dream has a beginning.
Boom! It hit me. Hard. Bahwa semua kondisi keriting sekarang ini adalah awal dari sebuah mimpi yang berontak minta diwujudkan. Dan kalo lo punya keyakinan, akan ada yang menolong. Seperti ketika tadi siang, beres nangis nonton film ini, gue meeting sama pemain yang menjadi kunci apakah FKJ masih bisa jalan apa tidak kalo syuting diundur. Karena pemain ini kunci pemikat investor dan dia mau diajak kerja sama pertemanan. Kalo dia mundur, lumayan menggemboskan amunisi. Problemnya setau gue anak ini harus kembali lagi ke Jerman bulan Februari buat kuliah. Sementara syuting mungkin mundur ke Maret. Dan ternyata, dia mengambil cuti dan stay until december 2006.
Faith. Just have faith, baby! And the reel of life will roll!
nb: ...jadi mau digampar? still remember that line honey? :D
Yap. Movies is always there. Never fail. Pas umur lima tahun gue mengenal kata 'magic' langsung secara visual. Saat gue diajak nonton ke bioskop. Gedean dikit, saat mencari pegangan, nasionalisme gue terhadap bangsa ini dipupuk dengan baik oleh Kereta Terakhir, Enam Djam Di Djogdja, Serangan Fajar, Janur Kuning, Perang Puputan, Jejak-Jejak Walter Monginsidi, Tjoet Njak Dhien, Nagabonar dan banyak lagi film perang. I'm a sucker for a [national] war movies.
Saat seksualitas tumbuh, film is there for me. Mulai dari yang sopan sampe the vivid one :D Tapi kita nggak bicara genre terakhir. Jennifer Connelly adalah yang menset-up standard gue seperti apa perempuan cantik itu seharusnya ketika nonton The Rocketeer. Taste gue sama aktris pun membaik. Nggak asal seksi. Gue fans dia sampe sekarang. Ditambah berbagai komedi romantik yang mengajarkan kalo cinta memang tidak terdefinisikan. That every relationship is strange.
Rainman menaikkan standard tuntutan gue terhadap film. Biasanya dateng ke bioskop baru milih mau nonton apa, sejak terpikat Dustin Hoffmann, gue selalu cari info dulu dan mulai mengikuti film-film kelas Oscar. Selera saya pun lumayan selamat :D Meski setelah Oscar memenangkan Titanic dibanding LA Confidential gue nggak terlalu percaya lagi sama Oscar.
Dan setelah itu Tokyo Story mengingatkan gue lagi untuk lebih respek sama ortu serta menghargai hidup panjang mereka. Di saat begitu habisnya gue disita sibuk. In The Mood for Love mengingatkan betapa selingkuh adalah rinai hujan pilihan yang punya konsekuensi tersendiri, ketika 'kembang api' mulai menyala menggoda lagi. Yiyi bicara sangat dalam apa itu kematian tepat ketika iman ada di level nadir. Banyak lagi deh.
Gue ketemu produser yang sekarang, karena tiap pagi dulu ngomongin film sama dia. Sebelum dia masuk ruangan dan bekerja sebagai GM majalah. Gue ketemu banyak orang penting dan berbakat setelah mulai nulis skenario. Salah satunya Hanung. Ketika sebuah skrip gue sedang mencari sutradara, gue ketemu dia di pemutaran film pendek. Film pendek juga membuat gue punya kesempatan belajar dari Faozan 'Pao' Rizal. Bakat terpendam di perfilman nasional. Underrated cinematographer. Padahal sangat berbakat. Film pendek juga yang bikin gue punya mimpi bareng Angga Sasongko. Potensi yang siap melejit. Diskusi film juga mengakrabkan gue sama Eric Sasono, kritikus film terbaik saat ini. Dan yang paling dahsyat, gue sama Umma mengawali semuanya dari sms-an membahas 2046-nya Wong Kar Wai.
Lalu tadi pagi, saat semangat nyaris habis karena diulur-ulur investor, gue dicambuk Goal! Film tentang pesepakbola. Mungkin tidak objektif kalo gue bilang film ini heroik. Satu, gue footballmaniac. Kedua saya pemuja Newcastle United. Saat melihat di film ini Newcastle begitu diagungkan, airmata menetes. Oke, you are talking with fanatic. Fanatik tidak mungkin realistik :D Tapi film ini jelas punya satu pesan: every dream has a beginning.
Boom! It hit me. Hard. Bahwa semua kondisi keriting sekarang ini adalah awal dari sebuah mimpi yang berontak minta diwujudkan. Dan kalo lo punya keyakinan, akan ada yang menolong. Seperti ketika tadi siang, beres nangis nonton film ini, gue meeting sama pemain yang menjadi kunci apakah FKJ masih bisa jalan apa tidak kalo syuting diundur. Karena pemain ini kunci pemikat investor dan dia mau diajak kerja sama pertemanan. Kalo dia mundur, lumayan menggemboskan amunisi. Problemnya setau gue anak ini harus kembali lagi ke Jerman bulan Februari buat kuliah. Sementara syuting mungkin mundur ke Maret. Dan ternyata, dia mengambil cuti dan stay until december 2006.
Faith. Just have faith, baby! And the reel of life will roll!
nb: ...jadi mau digampar? still remember that line honey? :D
1 Comments:
huhuhu, Santiago Munez, gw sampe bela-belain nambahin itu pemain di game Football Manager gw ...
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home