Choices
Kemaren gue menandatangani surat resign.
Ya, per 31 Desember ini gue keluar dari taman kanak-kanak yang udah gue tempatin selama hampir 4 tahun terakhir. Mulai dari awal sekali. Saat teman-teman masih sedikit dan 'mainannya' belum banyak.
Tapi setelah sekian lama merasa kreatifitas gue udah nggak 'muat' lagi di TK itu, gue memilih pergi. Kebetulan ada tawaran dari taman kanak-kanak baru yang lebih menarik. Ditambah beberapa kawan dari TK yang lama juga ikutan. Jadinya makin mantap surat itu gue tanda-tanganin.
It's all about choices.
Kemaren gue juga ditanya Hanung soal 'menduanya' gue antara dunia jurnalistik dan film. Pertanyaan yang wajar dari seorang yang punya konsistensi lebih dibanding gue dan lebih dulu berdarah-darah di dunia sinema.
Untuk sementara gue jawab, kalo sebisa mungkin gue nyoba jalanin dua-duanya. Selama ini meski jungkir balik, gue masih bisa selamat. Walo pun ngos-ngosan setengah mati. Tapi setelah pikir-pikir beberapa hari setelah pertanyaan hidup itu, gue menyadari satu hal. Gue nggak bisa ninggalin dunia jurnalistik. Ini darah gue. Segala ide gue muncul saat sedang mencari berita, wawancara orang, nyusun TOR atau question rod buat liputan utama, deelel. Pokoknya gue dibentuk oleh dunia yang satu ini. Rasanya kalo gue tinggalin, ya gue nggak bakal bisa kreatif lagi.
Dan begitu juga dengan film dan tulis menulis. Ini cinta kanak-kanak gue. Dan bercerita adalah passion gue. Menulis adalah channel yang gue sukai. Jadi kalo misalkan orang dunia jurnalistik meminta gue meninggalkan film dan tulis menulis di luar jurnalistik, mungkin gue juga nggak bisa. Gue nggak akan bisa muncul dengan ide-ide menarik buat bahan berita, dsb.
Dua dunia itu saling mengisi gue. Membentuk gue jadi kayak sekarang. Ada konsekuensi tentunya. Gue bisa jadi setengah-setengah di dua dunia itu. But, it's a choice. Untuk sementara ini, itu pilihan gue. Konsekuensi jadi medioker, gue ambil. Konsekuensi kerja dua kali lipat dibanding teman-teman yang lain, gue ambil. Ini pilihan. Dan pilihan selalu punya konsekuensinya sendiri.
Kebetulan Tuhan masih sayang sama gue, hingga gue dikasih tempat bermain yang cukup 'pas'. Kantor baru gue membawahi dua bidang, media dan film. Alhamdulillah.
Well, yang bisa gue janjiin ke dua dunia itu adalah, I'll do my best. That's it. And that's my choice.
nb: milih, sadar konsekuensi dan tanggung jawab, itu dia Ma.
Ya, per 31 Desember ini gue keluar dari taman kanak-kanak yang udah gue tempatin selama hampir 4 tahun terakhir. Mulai dari awal sekali. Saat teman-teman masih sedikit dan 'mainannya' belum banyak.
Tapi setelah sekian lama merasa kreatifitas gue udah nggak 'muat' lagi di TK itu, gue memilih pergi. Kebetulan ada tawaran dari taman kanak-kanak baru yang lebih menarik. Ditambah beberapa kawan dari TK yang lama juga ikutan. Jadinya makin mantap surat itu gue tanda-tanganin.
It's all about choices.
Kemaren gue juga ditanya Hanung soal 'menduanya' gue antara dunia jurnalistik dan film. Pertanyaan yang wajar dari seorang yang punya konsistensi lebih dibanding gue dan lebih dulu berdarah-darah di dunia sinema.
Untuk sementara gue jawab, kalo sebisa mungkin gue nyoba jalanin dua-duanya. Selama ini meski jungkir balik, gue masih bisa selamat. Walo pun ngos-ngosan setengah mati. Tapi setelah pikir-pikir beberapa hari setelah pertanyaan hidup itu, gue menyadari satu hal. Gue nggak bisa ninggalin dunia jurnalistik. Ini darah gue. Segala ide gue muncul saat sedang mencari berita, wawancara orang, nyusun TOR atau question rod buat liputan utama, deelel. Pokoknya gue dibentuk oleh dunia yang satu ini. Rasanya kalo gue tinggalin, ya gue nggak bakal bisa kreatif lagi.
Dan begitu juga dengan film dan tulis menulis. Ini cinta kanak-kanak gue. Dan bercerita adalah passion gue. Menulis adalah channel yang gue sukai. Jadi kalo misalkan orang dunia jurnalistik meminta gue meninggalkan film dan tulis menulis di luar jurnalistik, mungkin gue juga nggak bisa. Gue nggak akan bisa muncul dengan ide-ide menarik buat bahan berita, dsb.
Dua dunia itu saling mengisi gue. Membentuk gue jadi kayak sekarang. Ada konsekuensi tentunya. Gue bisa jadi setengah-setengah di dua dunia itu. But, it's a choice. Untuk sementara ini, itu pilihan gue. Konsekuensi jadi medioker, gue ambil. Konsekuensi kerja dua kali lipat dibanding teman-teman yang lain, gue ambil. Ini pilihan. Dan pilihan selalu punya konsekuensinya sendiri.
Kebetulan Tuhan masih sayang sama gue, hingga gue dikasih tempat bermain yang cukup 'pas'. Kantor baru gue membawahi dua bidang, media dan film. Alhamdulillah.
Well, yang bisa gue janjiin ke dua dunia itu adalah, I'll do my best. That's it. And that's my choice.
nb: milih, sadar konsekuensi dan tanggung jawab, itu dia Ma.
4 Comments:
Ah sutradara cemerlang ini mampir juga ke curhat-curhat recehan gue... :)
Ya gimana ya Nung? Mungkin gue aja yang terlalu sok tahu dan over PD... :D
segitunya ya dab?:) gue emang harus kembali ke titik nol lagi nih... cuma persoalannya mau over PD atau nggak, sialnya suka nggak suka, pohon kita emang udah tinggi... :D
halo pak! :)
resign ris?
gue doakan ris supaya emang itu pilihan terbaik,
btw, mau berbagi sedikit kesenangan dalam memilih dan hidup dengan pilihan, gue juga baru saja melewati pilihan itu juga, although tidak se 'ekstrim' ente punya :) dunia jurnalis - dunia film, dua2nya sama gila, dunia elo tuh men :)
next month gue cabut jadi karyawan bank (hahahahaha-matik gue!) dan mulai dalami jadi animator ama temen2 di hellomotion, making gambar2 itu menjadi hidup dan bergerak :)
wish u best of luck ris dengan pilihan :)
yeah, life is full of choice, ris ...
sama waktu gw dulu memutuskan untuk resign dari kantor gw dulu (media juga), bedanya, gw gak pindah ke media kompetitor. the reason? karena gak ada kenikmatan lagi dalam berkarya di kantor tersebut, just an easy reason ..
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home