Friday, September 30, 2005

Novel, Gasoline and The Bla, bla, bla

Stuck in the moment that you can get out of it - "Stuck in The Moment" - U2

Well, I got stuck. Di antara nikahan yang tinggal 4 bulan lagi, novel pertama, bensin yang naik dan bla, bla, bla. Bla, bla, bla adalah sebuah situasi yang menjanjikan sesuatu tapi masih absurd.

Pertama nikahan. Sebelumnya gue masih agak santai-santai aja. Tapi begitu iseng ngecek kalender di HP ternyata hitungan bulannya tinggal 4 lagi. Shit. Banyak yang masih belum gue siapin. Duit. Serahan. Rencana ngontrak atau nggak.

Sementara duit gue beberapa masih ada yang ngambang. Kerjaan udah dikerjain tapi kontrak belum dijadiin. Malah ada yang belum bayar. Begini ternyata ya masih dunia profesional kita. Atau gue aja yang terlalu bodoh, mau kerja dulu tanpa kontrak yang jelas. Meski orang-orang ini kayaknya nggak bakal kabur, tapi digantung sebulan-dua bulan lumayan juga jek.

Terus novel. Dengan sangat nekat gue menyatakan sanggup ngerjain adaptasi film sendiri menjadi novel. Soalnya gue sayang aja sama cerita yang satu ini dan ngerasa kayaknya bisa gue pegang novelnya. Ternyata keriting. Udah hampir seminggu baru dapet 20 halaman. Dan btw, yang ini kontraknya udah janji dikirim tapi belom nyampe-nyampe dari penerbitnya.

Selanjutnya adalah kenaikan bensin. Gue nggak komplain soal naiknya bensin. Karena bensin harus naik. Ini adalah situasi ekonomi yang natural. Dan benar yang bilang orang-orang mewah memang sudah terlalu lama dimanja subsidi. Kita hidup dalam jaring konsumerisme yang sangat boros.

Yang menjadi persoalan terbesarnya adalah bensin naik karena dorongan ekonomi makro internasional. Bukan pertumbuhan sehat dari dalam. Maksud gue taraf hidup tidak tergeret naik dengan naiknya harga bensin. Kalo misalnya berbanding seimbang mungkin persoalannya tidak menjadi rumit. Taruhlah bensin 1000 seliter dengan taraf pendapatan hidup 10.000 perhari. Jadi pada saat bensin 5000 mestinya pada saat itu taraf pendapat adalah 50.000 perhari. Nah, sekarang?

Bensin premium bakal jadi sekitar 4.500 seliternya. Nah buat yang berpenghasilan 50.000 sehari [dengan estimasi sebulannya 1.500.000 wich is berarti fresh graduate] ini sudah mencekik. Sepuluh liter cuma kerja keras mereka dihargai oleh bahan bakar. Belum buat makan dan lainnya. Oke mereka bisa hidup hemat. Tapi bagaimana dengan yang pendapatan perharinya di bawah 20.000? Mungkin mereka bukan pengguna bensin, tapi naiknya bensin langsung menampar mereka. Karena berkolerasi dengan naiknya kebutuhan pokok. Yang tidak mungkin mereka hindari.

Bayangkan juga makin turunnya level kelas ekonomi. Penghasilan 1.500.000 sebulan tadinya masih bisa ada di level menengah. Dengan kondisi mereka tercekik oleh bahan bakar mereka sendiri, berarti kelas mereka bisa turun masuk ke kelas bawah. Bagaimana dengan yang di bawah? Makin terpijak-pijak.

Ini yang lucu dari negara besar kita. Taraf pendapatan malah stagnan saat biaya dan pertumbuhan kebutuhan meningkat. Dan kita tergeret oleh ekonomi internasional yang tidak bisa dihindari lagi. Akibat dari kebijakan ekonomi yang selalu tidak bagus jalan skemanya.

Dan yang paling bikin pusing, saat gue ngajak anak orang hidup bareng, situasinya begini. Slompret. Bismillah ajalah. Niat baik harusnya jadinya baik.

Lantas masih ada situasi the bla, bla, bla. Situasi yang belum bisa gue jabarin secara detil di sini. Tapi jelas membawa gue ke sebuah pilihan masa depan. Pilihan pengembangan karir. Something happen hingga gue harus memilih apakah mau sekalian terjun langsung aja jadi penulis atau tetap punya asupan pasti bulanan dengan jadi karyawan/wartawan? Kalo gue masih single, mungkin gue dengan pasti terjun bebas. Tapi sekarang gue udah setengah single. Ada orang yang butuh kepastian kalo tiap bulan kita berdua masih bisa makan dan bayar listrik.

Ada sih tawaran kiri-kanan. Tapi masih the bla, bla, bla. Belum pasti.

Hm, tarik napas boy. Mikir yang tenang. Kuncinya cuma dua: kerja dan doa. At least I believe in that. Yeah, itu yang gue butuhin sekarang ini, keep the faith.

Just like Lou Reed said: "Just do what you should and everything is gonna be alright..."

nb: everything is gonna be alright dear...

6 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Bentar gue kirim skema income seorang penulis ya Ris, biar ada bayangan.

12:26 AM  
Blogger LUNATIC DWEEBSTARR said...

oho oho oho oho oho [tertawa siterklas]... tenang bos, namanya rejeki insyaAllah akan datang kapan dibutuhkan. Apalagi kalau mau nikah. Ada yang namanya rejeki nikah, tenang aja Ris, banyak temen2 gue yang mendadak dapet rejeki nikah. Alham du? Lillaaaaaaaaaaaaaah! Ingat ingat itu. Setelah rejeki nikah, akan ada yang namanya rejeki anak. Jadi mau setiris apa bensin dan dompet lo, niscaya anda akan diebrikan rejeki yang berlimpah. Alham du? Lillaaaaaaaaaaaaaaah!!!... hihi

9:10 AM  
Anonymous Anonymous said...

Sabar Ries...... ,
Bener kata Lunatic......., semua ada rejekinya sendiri-sendiri, cuma datangnya aja yang lewat kita.

Buat yang bla.... bla.... bla...., moga-moga bisa segera jadi kepastian dan bisa jadi jalan rejeki lainnya........ .
Amin.

11:09 AM  
Blogger tukangpot said...

Ris, klo pake teori lo yg gaji 1,5 jeti di level menengah, berarti gue harusnya dapat jatah kupon subsidi bbm dooong yaaa? gue kan way far from 1,5 jeti gajinyaaa hahahaha... pns mana adaaaa gaji berjeti2 :))

5:06 PM  
Blogger aris said...

Makanya negara ini stagflasi. Stuck dimana-mana, Al.

Tapi btw, situ kan PNS yang sering jalan_jalan ke leuar negeri jadi tidak perlu disubsidi... :)

11:07 AM  
Blogger tamankembangpete said...

ris ris, fotografer NG jim bradenburg pernah bilang: the less i worry about money, the more money I make." ris, pinjem duit dong....

5:57 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home