Monday, August 22, 2005

Hidup Itu Sederhana

A film is difficult to explain because it is easy to understand - Christian Metz

Christian Metz adalah seorang pakar semiotik film. Kutipan di atas akan gue ganti kata filmnya dengan life. So life is difficult to explain because it is easy to understand.

Gue bisa berpikir begitu karena baru aja melakukan secuplik napak tilas ke hari-hari gue yang lalu. Waktu gue masih 'hijau' dulu. Ceritanya begini. Take a nice sit. It's gonna be quite long.

Beberapa tahun silam tepatnya sekitar tahun 1988, seorang anak kecil terpana di sebuah studio latihan musik yang sempit ketika menyandang dan membunyikan Fender Jazz Bass. Detik itu juga dia memutuskan kalo benda empat senar itu adalah the coolest thing on earth dan langsung menakik hatinya dengan impian menjadi seorang bassis. That boy is me.

Setelah itu sepanjang hidupnya bocah tadi bergulat di musik. Menumpuk mimpi ingin menjadi musisi. Dia terus ngeband. Terus belajar dan sok tahunya bikin lagu sendiri. Dikenal sebagai motor paling kencang yang terus mendudu meski formasi band-nya bubar terus. Sampai dia kuliah di Bandung tahun 1994. Surga kreatifitas yang membuatnya makin gila.

Apa pun nyaris dia pertaruhkan buat impiannya ini. Nyokap yang rada sulit mengerti, pacar sampai sahabat pun dia taruh di prioritas ke dua. Bisa dibilang gue belajar hidup, kompromi, toleransi daan lainnya dari bergulat mempertahankan sebuah ikatan bernama band.

Dan perjalanan itu bukan tanpa clue yang terus menggoda untuk bocah tadi bertahan. Pernah nyaris masuk ke dalam Indie Ten Sony Music yang legendaris itu. Tergeser karena lagu band bernama Wong ternyata lebih diminati. Lantas dari demo tape yang pernah dibuat, ada yang pernah nangkring selama enam minggu di radio top di Bandung.

Tapi band adalah sebuah ikatan yang tidak mudah. Neraka dunia kalo mendapatkan orang-orang yang tidak memiliki kecepatan yang sama. Gue belajar ini banget. Bahwa tidak ada yang bisa disalahkan, karena semuanya pilihan. Kalo gue punya speed 60 sementara yang lainnya 40 berarti yang nggak pas gue. Gue yang harus pergi. Kita memang yang harus mencari orang-orang yang memang punya speed of work and dream yang sama untuk merasakan kerja [dan hidup] yang enak.

Teruslah bassis tadi mencari orang-orang berkecepatan sama. Setelah pasang surut yang melelahkan [pernah ngalamin ngemodalin demo dari duit hasil magang dan begitu demo jadi band lo bubar?], akhirnya di sekitar tahun 1999, pencarian itu pun sepertinya final.

Gue ketemu sama orang-orang yang udah babak-belur dan capek sama yang namanya teriak-teriak tentang komitmen. Mereka kepingin ketemu orang-orang yang udah sama-sama tau aja sama pilihan itu. Dan kita klop. Kesadaran latihan sering satu-satunya kunci band menjadi hebat disepakati dalam diam. Band ini pun bernama Silentium. Karena semua itu berawal dari diam. Dari sebuah keheningan. This my best formation so far.

Setelah sekitar setahun yang menyenangkan, akhirnya ada produser yang mau membiayai Silentium bikin master rekaman. Wow! Impian gue sejak pertama kali sesak napas menyandang Jazz Bass yang berat itu!

Hidup mulai terasa cerah buat gue. Pada tahun itu juga gue lulus kuliah. Awalnya gue udah positif nggak mau balik ke Jakarta. Gue udah jatuh cinta habis dengan Parahyangan. Gue juga udah kerja menjadi editor di sebuah portal situs dengan gaji lumayan. Kerjanya pun bisa dibagi dengan kegiatan band.
Tapi rupanya Yang Maha Agung punya rencana lain.

Setelah sekitar setahun bekerja dan I'm turning 25, muncul pemikiran kalo gue udah nggak punya waktu buat nunggu master itu diterima sama major label. Jadi meski udah punya master, tetep produser gue mencari label yang mau nerima. Sebenarnya nunggu sekitar setahunan itu masih wajar. Banyak yang nunggu lebih dari itu. But I feel my time is running out. Sementara kerja di dotcom memang seperti mimpi. Belakangan perusahan gue seiring habisnya buih-buih demam dotcom, mulai bangkrut.


Akhirnya setelah mikir, suntuk dan istikharah selama sebulan, gue memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Anak-anak kecewa. Orang yang dikenal paling ngotot dan motor paling kencang seperti 'menyerah'. Pada saat itu gue bilang kalo gue akan terus bermusik. Cuma gue harus realistis [i hate this word back then]. Gue nggak mungkin dikirimin duit lagi sama Bokap biar bisa bertahan di Bandung.

Anak-anak sempet curiga kalo gue dapet kerjaan di Jakarta. Padahal tidak. Jadi gue ke Jakarta juga tanpa ada kepastian apa-apa. Gue cuma ngerasa waktu gue udah habis di Bandung. Dan harus hijrah.

Akhirnya gue ke Jakarta. Tiga bulan nganggur, masuk majalah taman kanak-kanak ini dan sekarang ada di posisi ini. Hidup memang sulit diterangkan karena begitu mudah untuk dipahami.

Meski musik adalah prioritas satu, film adalah bayangannya. Gue selalu terinspirasi dari film. Selama di Bandung gue udah nyoba nulis skenario film. Dan cuma gue simpen di komputer. Buat gue itu hobi yang menyenangkan. Gue cinta banget nulis. Nulis lirik, nulis cerpen, apa pun juga. Tapi musik saat itu tujuan utama.

Begitu gue meninggalkan Bandung, dengan begitu saja gue dapet link untuk masuk ke dunia film. File-file lama gue dengan sangat mudah memikat perhatian orang-orang film. Sesuatu yang dulu gue kerjain tanpa ambisi apa-apa. Dan sekarang dalam waktu tiga tahun gue udah punya lima layar lebar. Nama gue udah ada di katalog film nasional.

Sementara sekian belas tahun gue ngebetot bass, tidak satu single pun yang menasional. Luar biasa.

Lantas beberapa waktu lalu, JC vokalis Silentium yang sudah jadi ayah satu anak dan pegawai pajak itu ngontak gue. Katanya bakal ada Pearl Jam Night 4 September nanti di JKT. Dan Silentium diundang main. Hahaha.

Dengan semangat gue ke Bandung. Ketemu orang-orang yang dulu pernah menyusun mimpi dengan darah bareng gue. Rasanya aneh dan menyenangkan ketemu mereka lagi. Dengan pencapaian masing-masing.

Bentar drummer yang buat gue hebat itu sekarang mengganti stick dengan kuas. Ya, di luar dugaan sama sekali Bentar jadi pelukis. Gara-gara diracunin si Zaenal, gitaris gue yang emang udah dari dulu ngelukis. Ternyata Bentar punya bakat. Dan sekarang lukisan dia diminati.

Zaenal. Manusia ini multi bakat. Gitaris paling jago yang pernah gue ajak kerja sama. Pelukis potensial. Dan sekarang sudah berpenghasilan dua kali lipat gaji gue sebagai Senior Editor. Lukisannya sudah ada di galeri-galeri terkenal. Tinggal nunggu pameran.

Safik. Anak paling kecil di Silentium ini juga gitaris masa depan sebenarnya. Dulu itu dia dikenal malas kuliah. Sekarang dia napsu meneruskan kuliahnya. Musik sudah jadi hobi saja buat dia.

JC. Gue cuma bisa bilang ini vokalis bersuara paling emosional. Pendekatannya nulis lirik juga dahsyat. Kontrol suaranya pun kuat. Sekarang jadi pegawai negeri, punya anak lucu dan sudah punya rumah sendiri.

Lantas saat memutuskan buat latihan lagi dan ngulik lagu-lagu Pearl Jam lagi, terjadi hal lucu. Udah nggak cepet lagi. Ketawa-tawa nyari chord. Akhirnya gue bilang, "Udah ulik di studio aja besok. Kita latihan tiga jam, trus kalo chemistry-nya masih ada, kita manggung tanggal 4!" Semua sepakat.

Dan chemistry itu masih ada. Begitu kena AC studio lagi, mendadak 4 lagu dimainkan dengan sangat cepat dan rapih. Dengan style kami yang selalu mengaransir ulang lagu orang, chemistry itu masih ada.

Dan gue ngeliat sinar mata orang-orang sudah bisa menerima hidup. Tenang saja tanpa harus terlihat ada luka karena mimpi masa lalu yang tidak pernah jadi. Bahkan seperti mengalir saja dengan segala kemungkinan baru yang terjadi nanti. Gue nggak bisa menuliskan lebih detil lagi perasaan gue. Yang jelas gue ngerasa ada di titik yang sangat tenang dan nyaman saat bermusik dengan mereka.
Ya, sudah bisa menerima hidup.

Bisa menerima kenapa gue nggak jadi di musik padahal udah jungkir balik tapi malah dengan gampang jadi di dunia tulis-menulis dan film. Karena dari dulu gue juga udah nulis dan dari kecil doyan film. Simpel aja kan? Dan gue nggak pernah ngerasa tahun-tahun jungkir balik itu adalah sebuah kerugian. Karena gue sekarang adalah penulis-jurnalis dengan pemahaman musik yang sangat kental. Dari angka 0 sampe Z. Anak-anak yang lain juga ngerasa begitu. Menerima hidup memang
diputar oleh pilihan. Yang digerakkan oleh keyakinan menerima diri sendiri.


Jadi, seperti apa sih hidup itu? Kembali saja ke tulisan awal. Hidup itu sederhana karena begitu kompleksnya. Saking sederhananya saya sampai harus bikin tulisan sepanjang ini.

nb: jadi kamu bakal ngeliat aku di panggung nanti, Ed... :)

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Ris, tengkyu dah nulis ini, gue jadi tau kabarnya Beben (Bentar).. jadi pengen nelfon dia. Btw kalo ketemu Beben, salam yach dari gue..

4:42 PM  
Blogger Soleh Solihun said...

oh, ternyata mertua maneh bener-bener mertua rock n' roll, nya ris. hehehe.

mirip aris? pasti bokap gina, dulunya kurus, gondrong, banyak omong dan pernah jadi pelatih ospek ya. hehehe.

11:59 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home