Me & World Cup
33 hari lagi Piala Dunia.
Hah. Belanda ada di grup maut. Ada Argentina di sana. Terakhir bertemu di Piala Dunia 1998 gol jenius Dennis "Ice Man" Bergkamp membungkam congor Batistuta. Mudah-mudahan Belanda juara dunia. Amin.
Kenapa Belanda sih? Kenapa Piala Dunia?
Sejarah yang panjang. Sekitar medio 1977 gue adalah anak kampung di kawasan kelurahan Ps. Manggis Jak-Sel yang begitu bisa berlari keluar rumah jatuh karena tersandung bola plastik. Lantas tahun 1978 Argentina juara dunia gue dibelikan baju Mario Kempes. Gue kurang suka waktu itu. Nggak tau kenapa. Belakangan gue tau, saat itu Argentina mengalahkan Belanda di final Piala Dunia paling penuh kontroversi.
Sejak itu, gue selalu main bola. Tiap hari. Tiap sore. Sampai menemukan trik baju dibalik agar tidak ketahuan sama Nyokap habis main bola. Beliau kurang suka gue pulang dengan baju berkubang tanah. Jadi gue main dengan baju terbalik lalu saat pulang baju gue pake normal. Baju terlihat bersih minimal sampe direndam di cucian.
Trik ini cukup populer di kalangan teman-teman gue.
Saat pertama main dalam tim, gue belum menemukan jati diri. Tapi karena dilihat kurang gesit dan paling jangkung, gue didaulat jadi kiper. Awalnya gue menyukai posisi ini karena tidak terlalu capek. Tapi begitu lebih dari lima belas kali muka kena hantam bola, gue mulai menghormati posisi ini.
Menantang sekali. Dan belakangan gue mulai jatuh cinta jadi kiper. Secara filosofis gue menemukan fakta, kalo nggak ada kiper apa serunya pertandingan bola? Dimana maknanya taktik dan sebagainya itu? Muaranya ada di gawang. Dan kiper adalah penjaga gawang. Orang dengan nomer punggung 1. Belakangan gue menemukan quote dari Vladimir Nabokov: "The goalkeeper is the lone eagle, the man of mystery, the last defender. Less the keeper of a goal than the keeper of a dream." Very engaging.
Gue benar-benar menekuni posisi ini. And I'm quite good at it. Sampai kelas 6 SD. Serius sampai dalam tahap masuk ke dalam tim amatiran kawasan sekitar rumah. Sempat juara ini-itu yang gue lupa apa aja. Kenapa sampai kelas 6 SD? Karena pas kelas 1 SMP, gue pakai kacamata. Sulit sekali rasanya main bola serius pakai kacamata. Lensa kontak terlalu mahal dan saat itu belum terlalu mudah di dapat. Tidak terlalu kecewa karena gue menemukan gantinya dengan cepat pada saat itu: musik dan ngeband.
Tapi gue masih tetap main bola sesekali. Masih terus mengikuti perkembangan apa pun tentang bola. Menonton setengah pertandingan World Cup 1986 di Mexico. Menyaksikan gol Tangan Tuhan paling legendaris itu. Saat Diego Armando Maradona menunjukkan bahwa memang bisa sepakbola itu ditentukan oleh satu orang. Buat gue bukan Argentina yang juara saat itu tapi Maradona juara dunia 1986 dengan bantuan 10 orang Argentina lainnya. He's too jenius. Beberapa orang menganggapnya Tuhan itu sendiri. Dia satu-satunya orang yang sekarang punya agama. Konon ada sekitar ratusan ribu pemeluk agama Maradona. mereka menyebut dirinya The Diegorian Brothers. Gue pernah mendengar ada orang Argentina yang bilang "Sepakbola Agama kami dan Tuhan pernah bermain jadi kapten di tim nasional kami."
Gue pun langsung rajin mengikuti apa pun tentang sepakbola. Terutama sejarah-sejarahnya. Gue sampe sekarang akan terus mengagumi penyelamatan George Banks dari sundulan Pele, yang disebut sebagai the save of the century. Menghapal betul indahnya Cryuff's Turn saat melawan Swiss di World Cup 1974. Setiap ada tayangan tentang sejarah sepak bola dan piala dunia gue pasti nonton. Dan di sana perlahan terbangung kekaguman terhadap Belanda dan rasa sebal terhadap Jerman.
Lantas the moment of truth muncul Piala Eropa 1988 di German. Saat itu gue dua belas tahun. Di saat itu pula gue jatuh cinta pada Belanda. Dengan segala atribut oranye-nya. Dengan kebangkitan Total Football. Sepak bola terjenius yang pernah ada. Silakan protes. Tapi baca dulu buku Briliant Orange-nya David Winner yang mengupas betapa Total Football itu lahir dari budaya Belanda. Budaya ruang. Segala sesuatu di Belanda itu karena negaranya sempit harus terukur. Mereka terbiasa dengan efisiensi ruang. Total Football berangkat dari sana. Memanfaatkan ruang. Merampas ruang gerak lawan. Begitu lawan 'menyerahkan' ruang mereka, maka Belanda menang.
Luar biasa sekali. Dan di 1988 itu gue menyaksikannya. Betapa Belanda begitu digjaya. Betapa Rijkaard-Gullit-Basten adalah trio yang belum tertandingi. Betapa gol Basten ke gawang Rinad Dasayev [kiper Rusia] adalah gol yang didaulat Franz Beckenbauer sebagai gol 100 tahun sekali.
Luar biasa. Sejak itu, tiap ada perlehatan sepak bola internasional gue akan selalu menjawab juaranya pasti Belanda. Tepatnya gue selalu berharap Belanda menang lagi. Mengembalikan gue ke umur 12 tahun. Ke dalam sebuah keriangan yang polos. Kekaguman dan ketakjuban tertulus yang pernah gue punya. So, when it comes to football, I'm 12 years old boy.
Sejak itu gue selalu percaya darah gue udah berubah jadi oranye. Meski lambang Garuda tetap tidak tergantikan. Tapi gue realistis. 50 tahun lagi juga belum tentu Indonesia masuk Piala Dunia. Jadi raja Asia juga belum kayaknya. Untuk itu gue sabar nunggunya.
Kalau 1988 adalah momen jatuh cinta gue, maka Piala Dunia 1990 adalah tahun dimana gue benar-benar resmi membenci Jerman. Tim buruk yang entah kenapa selalu menang itu. Licik. Terutama ketika mereka menyingkirkan Belanda dengan taktik 'ludah' itu. Mengorbankan Voeller asal Rijkaard juga keluar. Brengsek.
Piala Dunia 1994 di Amerika datang bersamaan dengan gue UMPTN waktu itu. Di suatu pagi, gue nyaris tidak berangkat UMPTN karena Belanda main lawan Arab. Gue sampai harus didorong Nyokap keluar rumah. Persis saat mau keluar, Belanda nyaris kebobolan. Gue balik lagi ke depan TV. Nyokap pun mematikan TV. Belanda menang 2-1. Tapi Brasil Juara Dunia setelah di perempat final menyingkirkan Belanda dengan skor 3-2.
Gue tetap membela Belanda. Karena mereka memang tima luar biasa. Cuma kadang kurang beruntung. Semifinal Piala Eropa 2000 saat kalah adu penalti dengan Italia, koran-koran dunia menulis Belanda 1, Tuhan 3. Karena sepanjang pertandingan Belanda habis-habisan menekan Italia yang seperti dijaga oleh malaikat gawangnya.
Lantas dengan sangat konyolnya tidak lolos Piala Dunia 2002. Padahal saat itu Belanda punya 4 striker tertajam di Eropa. Ironis. Belanda memang punya mental tidak begitu kuat dalam fight. Karena buat mereka yang penting adalah bermain brilian. Rijkaard pernah bilang, "Goal is another thing." Untuk menciptakan gol butuh elemen keberuntungan. Itu yang mereka yakini. Jadilah Belanda tim yang seperti tidak ngotot kalau bertanding. Diganggu dengan negatif football sedikit saja, mereka langsung terlihat malas bermain. Bahkan mereka juga kurang suka pemain yang punya gol banyak. Karena bisanya "cuma bikin gol." Mereka lebih mencintai pemain seperti Johan Cruijff. Serba bisa. Playmaker. Main dengan otak.
Tapi gue akan tetap cinta Belanda. Karena biar tidak pernah menang, Belanda selalu dianggap sebagai duta sepakbola modern yang terbuka dan menyerang. Progresif. Tapi paling mendasar karena Belanda udah merebut kekaguman dan ketakjuban gue. Mereka sudah mencurinya. Sampai kapan pun gue akan cinta Belanda. Saya serdadu oranye.
Kalo boleh ada second team maka mungkin pilihan gue jatuh ke Inggris. Simpel karena liga Inggris sangat gue kagumi. Liga terbaik di dunia. Cepat, keras dan kreatif. Gara-gara kebanyakan nonton EPL gue jatuh cinta sama Newcastle. I'm Toon Army. The Magpies. Setelah itu ada Arsenal di nomer satu setengah. Terutama sejak Arsene Wenger datang membawa anak-anak Belanda dan merubah Highbury selamanya. Dan gue udah megang rumput Highbury.
Kebayang kayak apa senangnya pas gue diminta jadi Managing Editor 442? Sebuah majalah lisensi tentang sepak bola dari Inggris.
Sekedar ilustrasi kenapa gue bisa nulis sepanjang ini dan bisa lebih panjang lagi tentang sepakbola dan kenapa ada yang 50 kali lebih gila lagi dari gue soal bola, bisa mendengar apa yang dibilang Alf Garnett: "Football is working class ballet."
Dan Umma menyambut Piala Dunia dengan pertanyaan: "Hah? Kamu bakal nonton semua pertandingannya?". Hm, sayang, sejak 1990 nyaris tidak ada satu pertandingan piala dunia pun yang terlewat sama saya... :)
Udah dulu ah.
nb: when it comes to you Ma, i'm a learning man. [jadi masih belajar misahin antara nonton bola atau kamu... :D:D]
Hah. Belanda ada di grup maut. Ada Argentina di sana. Terakhir bertemu di Piala Dunia 1998 gol jenius Dennis "Ice Man" Bergkamp membungkam congor Batistuta. Mudah-mudahan Belanda juara dunia. Amin.
Kenapa Belanda sih? Kenapa Piala Dunia?
Sejarah yang panjang. Sekitar medio 1977 gue adalah anak kampung di kawasan kelurahan Ps. Manggis Jak-Sel yang begitu bisa berlari keluar rumah jatuh karena tersandung bola plastik. Lantas tahun 1978 Argentina juara dunia gue dibelikan baju Mario Kempes. Gue kurang suka waktu itu. Nggak tau kenapa. Belakangan gue tau, saat itu Argentina mengalahkan Belanda di final Piala Dunia paling penuh kontroversi.
Sejak itu, gue selalu main bola. Tiap hari. Tiap sore. Sampai menemukan trik baju dibalik agar tidak ketahuan sama Nyokap habis main bola. Beliau kurang suka gue pulang dengan baju berkubang tanah. Jadi gue main dengan baju terbalik lalu saat pulang baju gue pake normal. Baju terlihat bersih minimal sampe direndam di cucian.
Trik ini cukup populer di kalangan teman-teman gue.
Saat pertama main dalam tim, gue belum menemukan jati diri. Tapi karena dilihat kurang gesit dan paling jangkung, gue didaulat jadi kiper. Awalnya gue menyukai posisi ini karena tidak terlalu capek. Tapi begitu lebih dari lima belas kali muka kena hantam bola, gue mulai menghormati posisi ini.
Menantang sekali. Dan belakangan gue mulai jatuh cinta jadi kiper. Secara filosofis gue menemukan fakta, kalo nggak ada kiper apa serunya pertandingan bola? Dimana maknanya taktik dan sebagainya itu? Muaranya ada di gawang. Dan kiper adalah penjaga gawang. Orang dengan nomer punggung 1. Belakangan gue menemukan quote dari Vladimir Nabokov: "The goalkeeper is the lone eagle, the man of mystery, the last defender. Less the keeper of a goal than the keeper of a dream." Very engaging.
Gue benar-benar menekuni posisi ini. And I'm quite good at it. Sampai kelas 6 SD. Serius sampai dalam tahap masuk ke dalam tim amatiran kawasan sekitar rumah. Sempat juara ini-itu yang gue lupa apa aja. Kenapa sampai kelas 6 SD? Karena pas kelas 1 SMP, gue pakai kacamata. Sulit sekali rasanya main bola serius pakai kacamata. Lensa kontak terlalu mahal dan saat itu belum terlalu mudah di dapat. Tidak terlalu kecewa karena gue menemukan gantinya dengan cepat pada saat itu: musik dan ngeband.
Tapi gue masih tetap main bola sesekali. Masih terus mengikuti perkembangan apa pun tentang bola. Menonton setengah pertandingan World Cup 1986 di Mexico. Menyaksikan gol Tangan Tuhan paling legendaris itu. Saat Diego Armando Maradona menunjukkan bahwa memang bisa sepakbola itu ditentukan oleh satu orang. Buat gue bukan Argentina yang juara saat itu tapi Maradona juara dunia 1986 dengan bantuan 10 orang Argentina lainnya. He's too jenius. Beberapa orang menganggapnya Tuhan itu sendiri. Dia satu-satunya orang yang sekarang punya agama. Konon ada sekitar ratusan ribu pemeluk agama Maradona. mereka menyebut dirinya The Diegorian Brothers. Gue pernah mendengar ada orang Argentina yang bilang "Sepakbola Agama kami dan Tuhan pernah bermain jadi kapten di tim nasional kami."
Gue pun langsung rajin mengikuti apa pun tentang sepakbola. Terutama sejarah-sejarahnya. Gue sampe sekarang akan terus mengagumi penyelamatan George Banks dari sundulan Pele, yang disebut sebagai the save of the century. Menghapal betul indahnya Cryuff's Turn saat melawan Swiss di World Cup 1974. Setiap ada tayangan tentang sejarah sepak bola dan piala dunia gue pasti nonton. Dan di sana perlahan terbangung kekaguman terhadap Belanda dan rasa sebal terhadap Jerman.
Lantas the moment of truth muncul Piala Eropa 1988 di German. Saat itu gue dua belas tahun. Di saat itu pula gue jatuh cinta pada Belanda. Dengan segala atribut oranye-nya. Dengan kebangkitan Total Football. Sepak bola terjenius yang pernah ada. Silakan protes. Tapi baca dulu buku Briliant Orange-nya David Winner yang mengupas betapa Total Football itu lahir dari budaya Belanda. Budaya ruang. Segala sesuatu di Belanda itu karena negaranya sempit harus terukur. Mereka terbiasa dengan efisiensi ruang. Total Football berangkat dari sana. Memanfaatkan ruang. Merampas ruang gerak lawan. Begitu lawan 'menyerahkan' ruang mereka, maka Belanda menang.
Luar biasa sekali. Dan di 1988 itu gue menyaksikannya. Betapa Belanda begitu digjaya. Betapa Rijkaard-Gullit-Basten adalah trio yang belum tertandingi. Betapa gol Basten ke gawang Rinad Dasayev [kiper Rusia] adalah gol yang didaulat Franz Beckenbauer sebagai gol 100 tahun sekali.
Luar biasa. Sejak itu, tiap ada perlehatan sepak bola internasional gue akan selalu menjawab juaranya pasti Belanda. Tepatnya gue selalu berharap Belanda menang lagi. Mengembalikan gue ke umur 12 tahun. Ke dalam sebuah keriangan yang polos. Kekaguman dan ketakjuban tertulus yang pernah gue punya. So, when it comes to football, I'm 12 years old boy.
Sejak itu gue selalu percaya darah gue udah berubah jadi oranye. Meski lambang Garuda tetap tidak tergantikan. Tapi gue realistis. 50 tahun lagi juga belum tentu Indonesia masuk Piala Dunia. Jadi raja Asia juga belum kayaknya. Untuk itu gue sabar nunggunya.
Kalau 1988 adalah momen jatuh cinta gue, maka Piala Dunia 1990 adalah tahun dimana gue benar-benar resmi membenci Jerman. Tim buruk yang entah kenapa selalu menang itu. Licik. Terutama ketika mereka menyingkirkan Belanda dengan taktik 'ludah' itu. Mengorbankan Voeller asal Rijkaard juga keluar. Brengsek.
Piala Dunia 1994 di Amerika datang bersamaan dengan gue UMPTN waktu itu. Di suatu pagi, gue nyaris tidak berangkat UMPTN karena Belanda main lawan Arab. Gue sampai harus didorong Nyokap keluar rumah. Persis saat mau keluar, Belanda nyaris kebobolan. Gue balik lagi ke depan TV. Nyokap pun mematikan TV. Belanda menang 2-1. Tapi Brasil Juara Dunia setelah di perempat final menyingkirkan Belanda dengan skor 3-2.
Gue tetap membela Belanda. Karena mereka memang tima luar biasa. Cuma kadang kurang beruntung. Semifinal Piala Eropa 2000 saat kalah adu penalti dengan Italia, koran-koran dunia menulis Belanda 1, Tuhan 3. Karena sepanjang pertandingan Belanda habis-habisan menekan Italia yang seperti dijaga oleh malaikat gawangnya.
Lantas dengan sangat konyolnya tidak lolos Piala Dunia 2002. Padahal saat itu Belanda punya 4 striker tertajam di Eropa. Ironis. Belanda memang punya mental tidak begitu kuat dalam fight. Karena buat mereka yang penting adalah bermain brilian. Rijkaard pernah bilang, "Goal is another thing." Untuk menciptakan gol butuh elemen keberuntungan. Itu yang mereka yakini. Jadilah Belanda tim yang seperti tidak ngotot kalau bertanding. Diganggu dengan negatif football sedikit saja, mereka langsung terlihat malas bermain. Bahkan mereka juga kurang suka pemain yang punya gol banyak. Karena bisanya "cuma bikin gol." Mereka lebih mencintai pemain seperti Johan Cruijff. Serba bisa. Playmaker. Main dengan otak.
Tapi gue akan tetap cinta Belanda. Karena biar tidak pernah menang, Belanda selalu dianggap sebagai duta sepakbola modern yang terbuka dan menyerang. Progresif. Tapi paling mendasar karena Belanda udah merebut kekaguman dan ketakjuban gue. Mereka sudah mencurinya. Sampai kapan pun gue akan cinta Belanda. Saya serdadu oranye.
Kalo boleh ada second team maka mungkin pilihan gue jatuh ke Inggris. Simpel karena liga Inggris sangat gue kagumi. Liga terbaik di dunia. Cepat, keras dan kreatif. Gara-gara kebanyakan nonton EPL gue jatuh cinta sama Newcastle. I'm Toon Army. The Magpies. Setelah itu ada Arsenal di nomer satu setengah. Terutama sejak Arsene Wenger datang membawa anak-anak Belanda dan merubah Highbury selamanya. Dan gue udah megang rumput Highbury.
Kebayang kayak apa senangnya pas gue diminta jadi Managing Editor 442? Sebuah majalah lisensi tentang sepak bola dari Inggris.
Sekedar ilustrasi kenapa gue bisa nulis sepanjang ini dan bisa lebih panjang lagi tentang sepakbola dan kenapa ada yang 50 kali lebih gila lagi dari gue soal bola, bisa mendengar apa yang dibilang Alf Garnett: "Football is working class ballet."
Dan Umma menyambut Piala Dunia dengan pertanyaan: "Hah? Kamu bakal nonton semua pertandingannya?". Hm, sayang, sejak 1990 nyaris tidak ada satu pertandingan piala dunia pun yang terlewat sama saya... :)
Udah dulu ah.
nb: when it comes to you Ma, i'm a learning man. [jadi masih belajar misahin antara nonton bola atau kamu... :D:D]
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home