Tanggung Jawab
Sori, mau marah-marah.
Kemaren gue nganter seseorang ke Yayasan Kanker Indonesia [YKI]. Buat di USG apakah benjolan yang ada di tubuhnya itu tumor atau kanker. YKI dipilih karena biaya perobatan dan USG nya lebih murah. Namanya juga yayasan. Oh ya, kantor YKI terletak persis di sebelah kantor IDI [Ikatan Dokter Indonesia].
Semuanya harusnya berjalan normal dan baik-baik saja. Sampai ketika gue tau untuk bisa di USG di YKI kalian harus bawa rombongan. Sebab dokternya malas kalo cuma ada satu pasien aja yang di USG. Dan itu praktek yang biasa terjadi di sana. Motherfucker. Sori nggak gue sensor. Karena gue marah semarah-marahnya.
Apa-apaan itu?! YKI nggak beda sama 21 memperlakukan film Indonesia? Kalo penontonnya kurang dari 4 film nggak diputer?! Apa emang YKI maunya satu Indonesia itu kena kanker terus mereka baru mau ngelayanin USG? Mentang-mentang kerja yang cenderung amal, terus seenaknya?! Dan ini terjadi di sebelah Ikatan Dokter Indonesia. Tepuk tangan yang meriah, sodara-sodara!
Kalo dokter nggak berurusan sama nyawa orang sih, boleh lah bersikap lebih bodoh dari pada kodok begitu. Sekarang gue baru paham ada bayi prematur merana ditolak sama tujuh rumah sakit. Mentalitas pegiat kesehatan seperti itu ternyata.
Ini benar-benar tidak fair. Sebab nggak ada orang yang milih sakit. NGGAK ADA. Apalagi kanker atau tumor. Gue awalnya sangat menghormati profesi dokter. Mereka rasanya buat gue adalah kaum-kaum yang diberkati Tuhan dalam pekerjaannya. Gue juga kagum dengan dedikasi mereka. Tekanan psikologis saat mereka sering dianggap dewa bukan manusia. Dan sekarang offically kekaguman itu gue cabut. Gue nggak peduli lagi kalo berdasarkan statistik dunia tingkat bunuh diri dan kecanduan obat ada di kalangan penyembuh ini. Apalagi di negeri ini. Nggak heran kalo dokter di sini tingkat stressnya tinggi. Didoain buruk sama banyak orang sih.
Terus gue baca salah seorang ahli pengobatan alternatif yang pasiennya lintas benua tidak mau menetapkan tarif pada pasiennya. Karena, "Kasihan orang sakit kok dibebani lagi..." Lulus SMA pun tidak rasanya si tabib itu. Bukti kalo memang lebih baik punya hati dibanding jenius.
Oke mungkin gue menggenaralisir. Tapi buat gue kejadian seperti ini masuk kategori 'one is too many'. Satu aja udah kelewatan. Apalagi belakangan sering kita dengar banyak terjadi malpraktek. Terutama buat kalangan menengah ke bawah.
Gue jadi inget buku Hak Untuk Sehat-nya Ivan Illich. Di situ dibilang kita harus bisa merebut hak sehat kita dari tangan-tangan korporasi kesehatan yang makin lama sudah menjadikan penyakit sebagai bisnis. Paling pertama dari Illich, kita harus berani menuntut hak pasien. Merebut kembali hak untuk menyatakan sehat itu dari kungkungan kaum dokter. Karena buat Illich, kaum awam seperti kehilangan hak atas kesehatan mereka.
Hal paling menyebalkan yang paling gue nggak suka kalo gue ngerasa badan gue sakit terus berobat ke dokter adalah dibilang "Nggak apa-apa" atau dapat kalimat bodoh seperti "Batuk biasa aja..." Kalo nggak apa-apa gue nggak ngerasa sakit! Yang tau badan gue kan ya gue sendiri! Lo gue bayar secara profesional buat ngasih tau ada apa! Atau, batuk itu nggak ada yang biasa! Pasti ada yang salah kenapa orang bisa batuk! Dari dulu kita terbiasa menerima 'eufimisme' seperti ini. Seolah makna sehat itu cuma punya mereka. Lama kelamaan ada hegemoni dalam makna sehat. Karena kaum dokter jadi terlalu 'berkuasa'. Dan ingat, power tend to corrupt. So, sekarang, gue ajak kalian buat berontak! Dokter udah keasyikan cari duit, tanya sampe detil kalo berobat. Obat apa yang sebenarnya mereka kasih. Tanya terus! Itu hak kita sebagai pasien!
Lantas gue juga usul, sebelum semua dokter didoa'in sama semua orang [gue mungkin paling depan] masuk neraka jahanam, mending masukin mata kuliah moral dengan SKS 12. Dan mata kuliah itu ada terus sepanjang kuliah. Dengan nilai minimalnya harus A.
Atau ajari lagi arti kata tanggung jawab. Sesuatu yang memang harus ditanggung dan bisa dijawab dengan baik. Dengan hakikat sebagai manusia. Kecuali memang dokter di sini ternyata bermetamorfosa jadi kodok semua.
Maaf, saya tidak mau minta maaf kalo bicara terlalu kasar. Kalo ada dokter yang kebetulan baca silahkan marah-marah langsung di sini. Tanggung jawab kalo berani.
nb: aku kutip lagu Kembang Pete-nya Iwan Fals buat kamu Ed: "Kalau diantara kita jatuh sakit, lebih baik tak usah ke dokter. Sebab ongkos dokter di sini, terkait di awan tinggi" Jadi olahraga terus biar tetep sehat. Kalo sakit bisa nambah jadi sakit hati nanti.
Kemaren gue nganter seseorang ke Yayasan Kanker Indonesia [YKI]. Buat di USG apakah benjolan yang ada di tubuhnya itu tumor atau kanker. YKI dipilih karena biaya perobatan dan USG nya lebih murah. Namanya juga yayasan. Oh ya, kantor YKI terletak persis di sebelah kantor IDI [Ikatan Dokter Indonesia].
Semuanya harusnya berjalan normal dan baik-baik saja. Sampai ketika gue tau untuk bisa di USG di YKI kalian harus bawa rombongan. Sebab dokternya malas kalo cuma ada satu pasien aja yang di USG. Dan itu praktek yang biasa terjadi di sana. Motherfucker. Sori nggak gue sensor. Karena gue marah semarah-marahnya.
Apa-apaan itu?! YKI nggak beda sama 21 memperlakukan film Indonesia? Kalo penontonnya kurang dari 4 film nggak diputer?! Apa emang YKI maunya satu Indonesia itu kena kanker terus mereka baru mau ngelayanin USG? Mentang-mentang kerja yang cenderung amal, terus seenaknya?! Dan ini terjadi di sebelah Ikatan Dokter Indonesia. Tepuk tangan yang meriah, sodara-sodara!
Kalo dokter nggak berurusan sama nyawa orang sih, boleh lah bersikap lebih bodoh dari pada kodok begitu. Sekarang gue baru paham ada bayi prematur merana ditolak sama tujuh rumah sakit. Mentalitas pegiat kesehatan seperti itu ternyata.
Ini benar-benar tidak fair. Sebab nggak ada orang yang milih sakit. NGGAK ADA. Apalagi kanker atau tumor. Gue awalnya sangat menghormati profesi dokter. Mereka rasanya buat gue adalah kaum-kaum yang diberkati Tuhan dalam pekerjaannya. Gue juga kagum dengan dedikasi mereka. Tekanan psikologis saat mereka sering dianggap dewa bukan manusia. Dan sekarang offically kekaguman itu gue cabut. Gue nggak peduli lagi kalo berdasarkan statistik dunia tingkat bunuh diri dan kecanduan obat ada di kalangan penyembuh ini. Apalagi di negeri ini. Nggak heran kalo dokter di sini tingkat stressnya tinggi. Didoain buruk sama banyak orang sih.
Terus gue baca salah seorang ahli pengobatan alternatif yang pasiennya lintas benua tidak mau menetapkan tarif pada pasiennya. Karena, "Kasihan orang sakit kok dibebani lagi..." Lulus SMA pun tidak rasanya si tabib itu. Bukti kalo memang lebih baik punya hati dibanding jenius.
Oke mungkin gue menggenaralisir. Tapi buat gue kejadian seperti ini masuk kategori 'one is too many'. Satu aja udah kelewatan. Apalagi belakangan sering kita dengar banyak terjadi malpraktek. Terutama buat kalangan menengah ke bawah.
Gue jadi inget buku Hak Untuk Sehat-nya Ivan Illich. Di situ dibilang kita harus bisa merebut hak sehat kita dari tangan-tangan korporasi kesehatan yang makin lama sudah menjadikan penyakit sebagai bisnis. Paling pertama dari Illich, kita harus berani menuntut hak pasien. Merebut kembali hak untuk menyatakan sehat itu dari kungkungan kaum dokter. Karena buat Illich, kaum awam seperti kehilangan hak atas kesehatan mereka.
Hal paling menyebalkan yang paling gue nggak suka kalo gue ngerasa badan gue sakit terus berobat ke dokter adalah dibilang "Nggak apa-apa" atau dapat kalimat bodoh seperti "Batuk biasa aja..." Kalo nggak apa-apa gue nggak ngerasa sakit! Yang tau badan gue kan ya gue sendiri! Lo gue bayar secara profesional buat ngasih tau ada apa! Atau, batuk itu nggak ada yang biasa! Pasti ada yang salah kenapa orang bisa batuk! Dari dulu kita terbiasa menerima 'eufimisme' seperti ini. Seolah makna sehat itu cuma punya mereka. Lama kelamaan ada hegemoni dalam makna sehat. Karena kaum dokter jadi terlalu 'berkuasa'. Dan ingat, power tend to corrupt. So, sekarang, gue ajak kalian buat berontak! Dokter udah keasyikan cari duit, tanya sampe detil kalo berobat. Obat apa yang sebenarnya mereka kasih. Tanya terus! Itu hak kita sebagai pasien!
Lantas gue juga usul, sebelum semua dokter didoa'in sama semua orang [gue mungkin paling depan] masuk neraka jahanam, mending masukin mata kuliah moral dengan SKS 12. Dan mata kuliah itu ada terus sepanjang kuliah. Dengan nilai minimalnya harus A.
Atau ajari lagi arti kata tanggung jawab. Sesuatu yang memang harus ditanggung dan bisa dijawab dengan baik. Dengan hakikat sebagai manusia. Kecuali memang dokter di sini ternyata bermetamorfosa jadi kodok semua.
Maaf, saya tidak mau minta maaf kalo bicara terlalu kasar. Kalo ada dokter yang kebetulan baca silahkan marah-marah langsung di sini. Tanggung jawab kalo berani.
nb: aku kutip lagu Kembang Pete-nya Iwan Fals buat kamu Ed: "Kalau diantara kita jatuh sakit, lebih baik tak usah ke dokter. Sebab ongkos dokter di sini, terkait di awan tinggi" Jadi olahraga terus biar tetep sehat. Kalo sakit bisa nambah jadi sakit hati nanti.
6 Comments:
apa jadinya ya, kalo logika ini terjadi pada instansi lain yang juga menyangkut jiwa orang. pemadam kebakaran misalnya.
"wah, kalo cuma satu rumah yang kebakaran mah, nggak bisa kita tanganin. kita harus nunggu dulu kebakaran itu sampai satu kompleks atau satu pasar."
hehehe. pikirkan itu, wahai para tenaga medis indonesia.
Bicara tentang tenaga medis, gue juga punya pengalaman. Awal Agustus kemaren gue juga hampir ajah berlaku kriminil ama Dokter Anestesi. Gara2 dia ngomong dengan enteng dan lempeungnya tentang resiko KEMATIAN yang harus kita hadapi dalam proses operasi ponakan gue yang baru berumur satu tahun!!huhuhuhu..
Semoga di laen waktu para Dokter bisa bicara pake Empati kepada keluarga pasien..
emang gitu dokter sekarang.
makanya ke tabib aja.
tapi kalo gue menghargai dokter yang bilang :
"nggak ada apa2 kok."
karena itu tandanya dia nggak sok tahu dengan mengada-ada diagnosa. biasanya dokter merasa dirinya harus memberikan solusi canggih dan sukses menemukan penyakit yang hebat pada si pasien. jadinya malah yang mustinya sakit standar yang nggak kenapa-kenapa, malah dihiperbola seakan sakit serius udah mau mati.
hasilnya adalah : pasien yang nggak kenapa-kenapa disuruh tes e.e.g dan musti minum obat ayan, hanya karena pernah sekali seumur hidup dia kejang waktu tidur [padahal seumur hidupnya nggak pernah ada riwayat ayan]---> kejadian sama temen gue.
ke dokter bukan jaminan pasti sembuh.
bukan jaminan dapat ketenangan dirawat dengan penuh perhatian. pasien bukan orang, tapi daging.
tapi, buat yang pengin jawaban ilmiah terhadap gejala yang dirasakannya, jawaban yang bisa diterima akal [meski belum tentu benar 100%], silakan ke dokter.
gue gak tau neh, mau comment apa. percuma rasanya gue koar2 karena pasti gak di dengar. tapi dokter juga manusia, punya rasa dan punya hati. dan gue jadi terenyuh dengan comment teman2 semua tentang dokter.
anonym, justru gue nulis ini biar kita sama-sama sadar kalo kita sama-sama manusia...
Kalo nggak tau, seperti kasus Nanda tentang ayan itu, dokternya ngaku aja nggak tau. Dijabarin dengan detil kondisinya apa.
Gue nggak menuntut dokter jadi dewa bukan manusia. Nggak boleh salah. Yang gue protes justru malah bergesernya nilai tanggung jawab dan profesionalisme.
Lo juga pasti ngedumel ngeliat kelakuan pekerja infotainment yang menghina profesi jurnalistik atau pejabat yang korup kan?
dapet post ini dari milis itb, tp gak bisa trackback yah?
Dari sebagian besar peristiwa kelahiran yang terjadi diantara teman-temanku, sebagian besar dilakukan dengan cara caesar. Alasannya bermacam-macam dan sepertinya tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Sedemikian besarkah resiko melahirkan dengan normal? Jika ya, alangkah mengerikannya jaman dahulu saat orang masih harus melahirkan dengan normal.
Aku lebih melihatnya bahwa para dokter ingin mendapatkan revenue lebih besar dengan proses kelahiran seperti ini. The more you know, the more frightened you will be. Mungkin karena level kepercayaanku pada dokter hanya 30%. Informasi medis lebih banyak menakutkan daripada menenangkan.
http://bw.or.id/blog/2005/08/134/
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home