Tuesday, April 26, 2005

Kids!

Apa yang dibutuhkan untuk bisa membuat lo bunuh diri tanpa alasan yang jelas dan dimaklumi oleh publik?

Segerombolan anak-anak kelas 3 SD. Serius. Buat merobohkan dua rumah tingkat dua, cukup tiga saja dari monster-monster kecil itu. Berikan saja bola plastik atau bahkan sepotong sepatu bekas. Dan kalian bakal bisa melihat betapa kreatif-destruktif-nya mereka.

Gue begitu soalnya. Pas kelas tiga SD, Nyokap sudah harus berdiplomasi dengan seorang laki-laki yang celananya 'tidak sengaja' gue bakar. Sementara celana itu masih dia pakai. Atau berurusan dengan kaca jendela tetangga yang gue pecahin dengan potongan kayu. Plus kaca lemari makannya sendiri yang berantakan saat gue mencoba membuat gol ala Maradona di dalam rumah. Dua kali. Dengan bola plastik dan sebuah sepatu bekas. Belum lagi kipas angin yang selalu dibetulkan Bokap. Karena dengan ajaib dia nyaris selalu menemukan kipas itu terbanting pasrah di lantai. Setiap sore setelah gue lari keluar rumah buat main takadal. Dan disitulah kaca tetangga pecah kena potongan kayu.

Belum lagi guru-guru gue yang nyaris putus napas menanyakan gue hendak keluar kemana dari dalam kelas persis ketika dia sedang serius menuliskan catatan di papan tulis. Dan gue dengan santai menjawab, mau main bola di luar. Ngurut dada agaknya terlalu underestimate. Sebab gue beneran keluar dan langsung jadi kiper.

Pokoknya top banget. Saking nakalnya, gue akhirnya pun memutuskan untuk tidak suka dengan anak-anak. Terutama laki-laki dan dalam jumlah lebih dari lima. Period.

Dan belum lama kemaren gue mendadak diminta ngomong di depan 100-an anak kelas 3 SD. Ngomongin soal profesi penulisan skenario. I'm dead meat.

Simply dead meat. Ngomong di depan mahasiswa soal skenario aja kadang masih musti mikir tiga keliling lingkar tengah Senayan. Apalagi di depan anak-anak yang bisa aja percaya Nemo itu ikan yang beneran bisa ngomong. Tapi malang tak dapat ditolak. Karena yang minta calon kakak ipar. Oke, anggep aja ini test case. Deal. Siapa takut. Toh adiknya yang manis itu berjanji bakal ada di sana juga.

Hari-H. Bangun pagi, menjemput anak manis yang janjinya bakal nemenin gue ngomong di sana [dan dia berkhianat!]. Sambil tetep nggak tau nanti mau ngomong apa. Boro-boro bikin sesuatu, mikir bagaimana nerangin menulis itu apa aja gue bingung. Bismillah aja lah.

Dan lalu hadirlah mereka. Sekitar 100-an anak laki-laki sedang ditenangkan gurunya di sebuah aula. Ingat aula bukan kelas. Berarti ada ruang luas sekali untuk adrenalin anak 8 tahunan tinggal diam. Gue masih berusaha cool. Di meja ada sebuah CPU tanpa monitor. Anak manis yang janji mau nemenin gue itu memang membawa laptop yang berisikan beberapa gambar download tentang proses produksi film. Hm, gue sih berharap ada OHP atau in focus. Ternyata hanya ada CPU. Yang kata seorang guru bisa memproyeksikan langsung ke tembok. Wich is itu semua salah paham. Kecuali memang udah ditemukan CPU-P [CPU Projectionist].

Well, the show must go on. Akhirnya dengan semangat jihad gue ngambil mike. Ucap salam dan gue melihat empat anak bikin rapat sendiri jauh di belakang. Oke sabar. Gue langsung membuka cerita dengan pertanyaan siapa yang suka nonton film. Efektif. Karena semua tunjuk tangan. Tidak efektif, karena mereka langsung ribut. Gue tetep melanjutkan. Ngoceh soal film itu awalnya dari imajinasi. Lalu ditulis dan bla-bla-bla.

Selama bla-bla-bla, ada sekelompok anak bermain bola dengan sepatu mereka. Segerombol lagi terlihat asyik salto kayaknya. Dan segerombol lagi duduk mendengarkan bla-bla gue. Lumayan. Saat sesi pertanyaan digelar. Another disaster coming.

"Kenapa ada yang bisa terbang?" "Kalo ditembak beneran ada yang mati nggak?" "Darah dibikinnya dari apa?" "Dunia Lain itu beneran apa boong?" Dengan menekan napas gue menerangkan kalo semua itu spesial efek. Mungkin ada beberapa yang kecewa karena ternyata apa yang mereka tonton bohong semua. Dan gue berusaha sekuat tenaga mengembalikan lagi semua ke dalam jalur penulisan skenario. Mengingatkan lagi kalo film itu awalnya dari ide, lalu ditulis, lalu dijadikan skenario dan bla-bla-bla. Ada pertanyaan lain? Seorang anak yang terlihat menyimak serius mengangkat tangan. "Kalo dari tangannya ada yang bisa keluar sinar itu gimana caranya?"

Di tengah proses itu katanya ada dua anak super nakal yang ternyata duduk dengan manis di depan gue dan dengan antusias menyimak. Awalnya gue bercanda bilang, mungkin sesama anak badung chemistry-nya sama. Punya aura yang nyambung. Tapi lama kelamaan gue mikir. Dan ternyata ada hal yang gue temuin. Kenapa gue yang paling nggak tahan sama anak-anak, bisa tetap terlihat rileks? Bahkan kata anak manis yang nemenin gue, gue cukup bisa nanganin anak-anak.

Jawabannya karena gue pada titik itu pun tanpa sadar kembali menjadi anak kelas 3 SD. Yang mengoceh soal kesenangannya. Bermain-main dengan riang gembira menceritakan apa yang dia sukai. I'm being a kid again. Itu mungkin yang membuat sekitar 1/2 dari 100-an anak tadi mau mendengarkan gue dan bertanya dengan antusias. Terlepas dari apa pertanyaannya, gue connected dengan binar-binar curiosity di mata mereka. Menikmati betul rasa ingin tahu mereka yang sama besarnya dengan gue saat itu yang ingin tahu apa saja yang ada di kepala mereka saat mendengar kata film.

Pulang dari sana, gue ketemu dengan seorang gadis cantik cilik berumur 2,5 tahun [sumpah ini bukan menjilat. gadis itu memang cantik]. Tantenya [wich is anak manis yang kakaknya mengundang gue jadi pembicara itu] bilang anak ini pendiam dan sulit dengan orang baru. Tapi gue mendadak penasaran. Gue coba ajak ngobrol. Masih diam. Terus dia membawa mainan berbentuk binatang yang kakinya hilang satu. Gue bingung binatang apa itu. Dengan penasaran gue tanya. Eh, dijawab. Gue tanya kemana kakinya. Dijawab lagi. Sampai akhirnya dia menunjukkan celana dalamnya sama gue yang tersimpan dalam sebuah tas [don't think i'm pervert you pedofilia!], memainkan lagu ciptaannya di sebuah piano dan menuliskan ceritanya di sebuah buku tulis. We are becoming friend.

So, the moral of the story is, gue jadi tau bagaimana menghadapi anak-anak. Sesuatu yang selama ini mustahil sekali buat gue. Cukup keluarkan saja naluri kanak-kanak yang kita punya maka kita akan membuat mereka nyaman. Membuat mereka merasa dekat dan dikenali. Most of all, itu akan membuat diri kita jadi nyaman.

nb: Thanks for the experience, dear. Am I pass the test?

2 Comments:

Blogger Soleh Solihun said...

Wah Ris! Ieu ngan bisa berarti satu hal. Maneh geus siap jadi ayah. Terus, geus siap kawin! Hahaha. Akui saja, Ris. Bener henteu?

6:41 PM  
Blogger aris said...

Ah masa sih Lin? Ada yang bilang tulisan gue marah-marah... :D

1:54 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home