Thursday, December 23, 2004

Capek

Hari ini memang digariskan buat gue marah-marah kayaknya. Setelah berhasil menenangkan diri tidak melakukan tindakan-tindakan yang direstui Letkol Untung di G30S/PKI, gue mendiamkan kasus absen itu. Buang energi, capek sendiri protes sama institusi segede mereka. Biar salah mereka punya sistem yang solid. Sistem yang sama dengan peternakan sapi: perah sampai kering!

Keluar kantor dong ceritanya pas jam 6. Sesuai absen janjian sama Hanung di Ambasador. Ada berita penting soal dunia broadcast dan persinetronan. Meluncurlah hamba dengan FI ke sana. Satu-satunya jalur yang baru bisa dihapal mahluk yang baru 8 minggu bisa nyetir ini adalah Kuningan. Dan selamat datang di neraka bumi sodara-sodara! Tenang, tenang. Nggak lucu lempar tombak cuma gara-gara Jakarta macet. Percuma. Sayang tombaknya. Cuma bikin capek aja.

Tigapuluh menit kemudian, setelah nyaris mencolek motor 3 kali plus adu klakson sama Kopaja [tombak hampir ikut campur tapi nggak jadi] akhirnya parkir di ITC. Lantai 1, penuh. Senyum. Lantai 2, krodit. Masih senyum. Lantai 3, nggak ada. Senyum mulai tipis. Dengkul kiri agak bergetar sedikit. Begitu lantai 4 nggak ada juga secuprit space buat gue lepas dari capek hati dan kaki, muka jadi kenceng juga. Lantai 5, setelah muter 4 kali akhirnya ada yang keluar. Mau ngamuk-ngamuk percuma juga. Capek.

Jakarta sucks! Macet, parkir itu bisa diurus! Tinggal mau nggak ngurusinnya. Bogotta sama parahnya dengan di sini. Lima tahun lalu. Dalam waktu lima tahun [satu masa jabatan] macet selesai sama gubernurnya. Urut-urutan progamnya jelas. Mulai dari perbaikan bis dan kendaraan umum, sampai melimitasi penggunaan kendaraan pribadi. TAPI, urutannya jelas. Perbaiki dulu kendaraan umum, baru paksa orang meninggalkan kendaraan pribadinya! Ah, udahlah capek. Toh usulan paling mantap untuk membatasi umur kendaraan layak jalan ditolak. Karena itu bisa mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak kendaraan.

Oke, tinggalin dulu maki-maki sambil nyebar garam di laut itu. Hanung menambah bumbu yang bikin darah mendidih. Ternyata, sebuah stasiun Televisi besar di Indonesia, berhutang puluhan milyar sama beberapa PH besar [lo tau siapa yang gue maksud]. Hutang yang berasal dari tunggakan bayaran episode sebuah sinetron. Akibatnya, apa pun yang para taikun sinetron itu sodorkan diterima! Dengan kualitas apa pun juga! Ini berlangsung tahunan. Dan membentuk sebuah pemahaman akan 'maunya pasar' yang sangat-sangat payah dan sakit. Stasiun tenang saja. Tidak peduli dengan apresiasi rakyat yang membusuk. Mereka cuma pedagang yang maunya untung terus.

Hm, apa gue ikut aja sama sikap Riri Riza yang protes: Ini bukti perfilman dikalahkan oleh pembodohan televisi, saat FFI 2004. Ketika banyak kategori penting yang tidak disiarkan langsung. Orang yang menghadiahi ulang tahun sahabatnya Mira Lesmana yang ke 39 dengan tulisan: remember, TV is dead.

Aplikasikan itu menjadi: Work value is dead. Jakarta is dead. Dan gue juga ikut 'mati'. Bersama zombie-zombie modern lainnya. Berdansa dengan senyum plastik di kebekuan. Di dunia dagang yang meriah ini.



Capek soalnya. Capek...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home