Jodoh, Nikah and Faith
Gue akhirnya mutusin nikah.
For those who unfortunatelly know me, dont laugh. Well, gue adalah orang yang dikenal dengan postulat kalo nikah itu masuk kotak. Nggak ada lagi ruang pribadi buat diri lo. Banyak hal yang harus dikompromiin sementara lo udah ada di kondisi yang sulit banget dikompromikan. Sebuah kondisi nyaman dimana lo benar-benar 'hidup'. Dimana lo jadi diri lo sendiri. Jadi, gue sempat berpikir, ada orang-orang yang terlalu 'terlambat' buat menikah dan memang lebih baik hidup sendiri. And I'm pretty sure, I'm one of those.
Di samping itu, ada hal lain yang jadi pondasi berpikir gue, kenapa kompromi dengan pasangan adalah hal yang 'ajaib'. Konsep jodoh. Dari sebelum 17 tahun gue udah mikirin ini. Karena tiga konsep rejeki, maut dan jodoh bisa gue terima dengan tanpa pertanyaan kecuali yang terakhir.
Kenapa tukang becak yang jujur nyari 25 ribu aja setengah mati lalu ada anak kemaren sore udah jadi brand manager bergaji 25 juta sebulan, bisa gue terima. Rejekinya udah diatur. Tiap kerja keras beda nilainya. Kenapa ada bayi polos baru tiga bulan bisa meninggal sementara junkies umur 60 tahun belum mati-mati, itu karena maut urusan Allah.
Sementara jodoh? Siapa jodoh kita? Dimana batasannya? Kalo nikah aja bisa cerai, yang mana yang namanya jodoh? Agak sulit gue terjemahkan dan gue jawab. Sampe akhirnya, gue ketemu sama 'anak kecil' yang menyentak gue dengan kesadaran, kalo jodoh sama nikah nggak ada hubungannya.
Ya, jodoh sama nikah nggak ada korelasinya. Kenapa? Sebab jodoh di tangan Allah. Sama kelasnya dengan misteri rejeki dan maut. Kita nggak akan tahu apakah pasangan yang sekarang ada di sisi kita itu jodoh kita sampe kita bener-bener tutup usia. Jadi nikah bukanlah bukti kalo orang itu jodoh kita apa bukan.
Yang bisa kita lakuin adalah mempertanyakan kenapa nikah? Kenapa lo mau nikah, boy? Gue mau nikah karena nikah menyempurnakan setengah agama gue. Karena nikah sumber berkah. Bukan pacaran [or whatsoever] tapi nikah. Dan gue iman sama kalimat-kalimat itu. Kalo situ nggak iman, ya no problem. Pembuktiannya nanti kok, nggak sekarang. Sekarang sih, free will.
Lalu gue memutuskan untuk mengetahui apakah 'anak kecil' ini jodoh gue apa bukan sambil menyempurnakan agama gue dan dapet berkah dengan nikah. Bukan dengan pacaran lama-lama [fyi waktu pacaran emang tidak menentukan apa-apa. Udah banyak contoh. Gue pernah pacaran tiga tahun dulu. Dan sama 'anak kecil' ini empat bulan 'udah' cukup buat gue] Kalo ternyata kita nggak jodoh, at least we doing something that we believe is very beautiful. Gimana nggak indah? Agama lo jadi lebih lengkap dan lo dapet berkah dari Tuhan lo. Kuncinya sekali lagi ada di iman.
Tapi satu hal, pada saat lo nggak percaya nikah, bukan berarti nikah itu lantas nggak ada. Lantas nikah jadi sesuatu yang 'salah'. Persis ketika lo ngebelakangin bulan, bukan berarti bulannya hilang. Lo milih untuk nggak liat bulan. Atau ketika lo milih nggak lewat Sudirman tapi menuju Kuningan. Sudirman tetep ada. Believe it or not, nikah its there. Lying right in front of your journey.
Banyak orang pusing mikirin pacarnya jodoh atau bukan. Atau segepok barrier lainnya. Mulai dari takut cerai, punya anak, mertua, kesiapan ekonomi, belum siap mental, dsb. Gue juga begitu, sampe akhirnya, gue ketawa sendiri. "Sok ribet lo! Mau nikah apa nggak? Toh semua ada konsekuensinya. Your time is ticking away." Sementara anak orang masih dideketin juga. Malu juga jadi 'banci' begitu. Mau lo apa sebenernya? Nikah atau nggak?
Dan akhirnya gue memutuskan untuk nikah. Bukan karena yakin dia jodoh gue, tapi justru pingin ngebuktiin dia jodoh gue apa bukan. With my faith.
nb: jangan jadiin gedung penuh menghalangi kita Ed... :D
For those who unfortunatelly know me, dont laugh. Well, gue adalah orang yang dikenal dengan postulat kalo nikah itu masuk kotak. Nggak ada lagi ruang pribadi buat diri lo. Banyak hal yang harus dikompromiin sementara lo udah ada di kondisi yang sulit banget dikompromikan. Sebuah kondisi nyaman dimana lo benar-benar 'hidup'. Dimana lo jadi diri lo sendiri. Jadi, gue sempat berpikir, ada orang-orang yang terlalu 'terlambat' buat menikah dan memang lebih baik hidup sendiri. And I'm pretty sure, I'm one of those.
Di samping itu, ada hal lain yang jadi pondasi berpikir gue, kenapa kompromi dengan pasangan adalah hal yang 'ajaib'. Konsep jodoh. Dari sebelum 17 tahun gue udah mikirin ini. Karena tiga konsep rejeki, maut dan jodoh bisa gue terima dengan tanpa pertanyaan kecuali yang terakhir.
Kenapa tukang becak yang jujur nyari 25 ribu aja setengah mati lalu ada anak kemaren sore udah jadi brand manager bergaji 25 juta sebulan, bisa gue terima. Rejekinya udah diatur. Tiap kerja keras beda nilainya. Kenapa ada bayi polos baru tiga bulan bisa meninggal sementara junkies umur 60 tahun belum mati-mati, itu karena maut urusan Allah.
Sementara jodoh? Siapa jodoh kita? Dimana batasannya? Kalo nikah aja bisa cerai, yang mana yang namanya jodoh? Agak sulit gue terjemahkan dan gue jawab. Sampe akhirnya, gue ketemu sama 'anak kecil' yang menyentak gue dengan kesadaran, kalo jodoh sama nikah nggak ada hubungannya.
Ya, jodoh sama nikah nggak ada korelasinya. Kenapa? Sebab jodoh di tangan Allah. Sama kelasnya dengan misteri rejeki dan maut. Kita nggak akan tahu apakah pasangan yang sekarang ada di sisi kita itu jodoh kita sampe kita bener-bener tutup usia. Jadi nikah bukanlah bukti kalo orang itu jodoh kita apa bukan.
Yang bisa kita lakuin adalah mempertanyakan kenapa nikah? Kenapa lo mau nikah, boy? Gue mau nikah karena nikah menyempurnakan setengah agama gue. Karena nikah sumber berkah. Bukan pacaran [or whatsoever] tapi nikah. Dan gue iman sama kalimat-kalimat itu. Kalo situ nggak iman, ya no problem. Pembuktiannya nanti kok, nggak sekarang. Sekarang sih, free will.
Lalu gue memutuskan untuk mengetahui apakah 'anak kecil' ini jodoh gue apa bukan sambil menyempurnakan agama gue dan dapet berkah dengan nikah. Bukan dengan pacaran lama-lama [fyi waktu pacaran emang tidak menentukan apa-apa. Udah banyak contoh. Gue pernah pacaran tiga tahun dulu. Dan sama 'anak kecil' ini empat bulan 'udah' cukup buat gue] Kalo ternyata kita nggak jodoh, at least we doing something that we believe is very beautiful. Gimana nggak indah? Agama lo jadi lebih lengkap dan lo dapet berkah dari Tuhan lo. Kuncinya sekali lagi ada di iman.
Tapi satu hal, pada saat lo nggak percaya nikah, bukan berarti nikah itu lantas nggak ada. Lantas nikah jadi sesuatu yang 'salah'. Persis ketika lo ngebelakangin bulan, bukan berarti bulannya hilang. Lo milih untuk nggak liat bulan. Atau ketika lo milih nggak lewat Sudirman tapi menuju Kuningan. Sudirman tetep ada. Believe it or not, nikah its there. Lying right in front of your journey.
Banyak orang pusing mikirin pacarnya jodoh atau bukan. Atau segepok barrier lainnya. Mulai dari takut cerai, punya anak, mertua, kesiapan ekonomi, belum siap mental, dsb. Gue juga begitu, sampe akhirnya, gue ketawa sendiri. "Sok ribet lo! Mau nikah apa nggak? Toh semua ada konsekuensinya. Your time is ticking away." Sementara anak orang masih dideketin juga. Malu juga jadi 'banci' begitu. Mau lo apa sebenernya? Nikah atau nggak?
Dan akhirnya gue memutuskan untuk nikah. Bukan karena yakin dia jodoh gue, tapi justru pingin ngebuktiin dia jodoh gue apa bukan. With my faith.
nb: jangan jadiin gedung penuh menghalangi kita Ed... :D
4 Comments:
rupanya salman aristo telah mengikuti kata hatinya. bener ris. lamun urang terlalu ngariweuhkeun masalah jodoh atau lain, engke bisa-bisa moal nikah-nikah.
nu penting mah, geus aya nu daek. plus aya keberanian. eta we. nu dibutuhkeun jang menikah. ceuk urang mah. tah, berhubung urang can boga awewe nu daek, urang ngan bisa mengucapkan selamat. syukuri ris, nikmat teh. hahaha. sok bijak kieu, nya?
Alhadulillaahhh... tentunya elo menuliskan curahan hati lo setelah mengalami berbagai pemikiran yang mendalam yah. Bagus lah Ris kalau begitu. Mudah-mudahan Soleh segera menyusul... hihi
Untuk sebuah kotak, buat gue pernikahan adalah sebuah tantangan: beranikah kita berpikir keluar dari kotak?
waaa semoga berbahagia selalu
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home